DETIKBABEL.COM, Oleh: Muhamad Zen
Wartawan dan Pemerhati Kebijakan Publik
Alumni Universitas Gunung Maras – Fakultas Ilmu Politik Perkeliruan
Hari ini, Pangkalpinang menorehkan sejarah baru.
Untuk pertama kalinya, kota ini dipimpin oleh seorang profesor — gelar akademik tertinggi yang tentu membanggakan.
Masyarakat wajar berbangga, sebab di atas kertas, kepemimpinan seorang profesor menjanjikan masa depan yang cerdas, terukur, dan berwawasan ilmiah.
Namun di balik tepuk tangan dan bunga ucapan selamat atas pelantikan hari ini, masyarakat menyimpan satu harapan besar sekaligus pertanyaan kecil:
> Akankah kota ini akhirnya benar-benar menjadi “pintar”, atau justru tetap berjalan di tempat meski dipimpin oleh orang yang sangat pintar?
Sebab sejatinya, kecerdasan bukan hanya tentang gelar, tetapi tentang kepekaan dan keberanian untuk membuat perubahan.
Kota ini tidak hanya butuh pemimpin yang pandai berbicara di seminar, tetapi pemimpin yang turun ke pasar — yang tahu harga cabai naik bukan karena teori, tapi karena rakyat benar-benar merasakannya.
Jika setelah pelantikan profesor ini Pangkalpinang masih tetap seperti ini — jalan berlubang, drainase mampet, lapangan kerja sempit, dan wajah kota tak beranjak — maka barangkali kita memang bukan butuh orang pintar.
Kita butuh orang yang pintar merasa.
Sejarah panjang telah membuktikan, gelar tinggi tak selalu menjamin hati yang rendah, dan kemampuan berpikir tak selalu sejalan dengan kemampuan mendengar.
Kepemimpinan sejati bukan tentang berapa tinggi pendidikanmu, tapi seberapa rendah hatimu di hadapan rakyat.
Dua Pemimpin, Satu Tujuan
Kota ini kini dipimpin oleh Profesor Saparudin sebagai Wali Kota dan Desy Ayu Trisna sebagai Wakil Wali Kota.
Pasangan pemimpin yang diharapkan bisa berjalan harmonis, saling mengisi, bukan saling menguasai.
Sebab kota ini sudah terlalu lama lelah melihat pemimpin yang sibuk dengan ego, bukan dengan pelayanan.
Desy Ayu Trisna diharapkan mampu memainkan peran strategis untuk membantu tugas Wali Kota, khususnya dalam urusan tertib administrasi dan peningkatan pelayanan publik di seluruh OPD.
Karena pemerintahan yang rapi tidak hanya dibangun dengan ide besar, tetapi juga dengan tata kelola yang disiplin dan konsisten.
Dan tentu, jangan jadikan Wakil Wali Kota hanya sebatas “ban serep.”
Kita sudah belajar dari sejarah, bagaimana posisi wakil sering kali hanya dijadikan aktor figuran — tampil di baliho, tapi absen dalam keputusan penting.
Jangan sampai kehadiran wakil hanya menjadi formalitas hingga akhir jabatan, tanpa ruang untuk berperan nyata.
Sebab pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberi ruang bagi semua elemen untuk bekerja, bukan hanya satu figur yang menonjol di panggung.
Mari kita berharap, keduanya dapat menjaga irama langkah yang seirama — bukan karena paksaan politik, tapi karena kesadaran moral bahwa amanah rakyat tidak bisa dijalankan sendiri.
Kritik Bukan Musuh, Kolaborasi Adalah Kunci
Dan satu hal penting untuk diingat:
Jangan pernah alergi terhadap kritik.
Kritik bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menjaga arah agar tetap di jalur yang benar.
Pemimpin yang bijak akan memandang kritik sebagai bahan bakar perubahan, bukan ancaman kekuasaan.
Jangan jadikan pihak yang memberikan kritik sebagai musuh.
Justru sebaliknya — ajak mereka berdialog, rangkul mereka sebagai bagian dari kolaborasi membangun kota.
Sebab kemajuan tidak lahir dari tepuk tangan semata, tetapi dari keberanian menerima masukan dengan lapang dada.
Penutup: Mari Bangun Kota Ini Bersama
Selamat datang Profesor, selamat datang harapan baru.
Semoga kepemimpinan Anda bersama Wakil Wali Kota menjadi titik balik bagi Pangkalpinang — dari kota yang biasa, menjadi kota yang luar biasa.
Mari kita bangun kota ini dengan semangat kolaborasi, keterbukaan, dan keberanian untuk berubah, agar Pangkalpinang dapat naik kelas, sejajar dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Dan jika nanti kota ini benar-benar berubah, kami akan menulis dengan bangga:
> “Ternyata benar, Pangkalpinang memang butuh orang pintar.”
Namun jika tidak, izinkan kami mengutip kembali,
> “Barangkali yang kita butuh bukan orang yang merasa pintar, tapi orang yang pintar merasa.”
Tentang Penulis
Muhamad Zen adalah wartawan dan pemerhati kebijakan publik,
sekaligus alumni Universitas Gunung Maras — Fakultas Ilmu Politik Perkeliruan.
Sebuah universitas yang jelas tidak terdaftar di Dikti,
namun tetap menjadi kebanggaan karena berdiri di titik tertinggi Pulau Bangka: Gunung Maras.
Dari ketinggian simbolis itulah ia menatap kota ini — kadang dengan senyum getir, kadang dengan tawa yang satir.
Sebab di negeri ini, banyak hal yang keliru bisa terlihat benar, dan yang benar sering tampak keliru.
Begitulah yang diajarkan dalam mata kuliah favorit kampusnya:
> “Mahasiswa Ilmu Politik Perkeliruan harus mampu membuat sesuatu yang salah terlihat benar, dan yang benar seolah keliru — tentu dengan tujuan mulia: agar kita tidak terlalu cepat percaya pada yang tampak benar di permukaan.”










