DETIKBABEL.COM, BANGKA BELITUNG | Kasus dugaan penggunaan gelar palsu oleh Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Helliyana, kini memasuki babak baru yang menggemparkan. Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Azzahra, Dr. Sulhan, S.H., M.H., secara terbuka mengungkap bahwa tidak ditemukan jejak akademik atas nama Helliyana di institusi tempat ia pernah menjabat. Pengakuan tersebut memperkuat dugaan bahwa gelar Sarjana Hukum (SH) yang tercantum dalam identitas resmi Wakil Gubernur tersebut adalah palsu.Rabu (11/6/2025).
Perkara ini mencuat ke permukaan setelah seorang mahasiswa Universitas Bangka Belitung, Siddiq, melaporkan Helliyana ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bangka Belitung pada 17 Mei 2025. Dalam laporannya, Siddiq menuding adanya penggunaan gelar palsu Sarjana Hukum dari Universitas Azzahra oleh pejabat nomor dua di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu.
Menindaklanjuti laporan tersebut, pada 10 Juni 2025, Polda Bangka Belitung memanggil Rektor Universitas Azzahra, Drs. Samsu A. Wakka, S.Si., untuk memberikan klarifikasi. Namun karena alasan kesehatan, ia tidak hadir dan diwakili kuasa hukumnya, Dr. Sulhan, yang juga adalah mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Azzahra.
Dalam pernyataannya di hadapan penyidik, Dr. Sulhan menyampaikan fakta mengejutkan: tidak ada satu pun data, dokumen, maupun arsip yang menunjukkan bahwa Helliyana pernah tercatat sebagai mahasiswa Universitas Azzahra. Ia menegaskan, pencarian sudah dilakukan secara menyeluruh namun tidak membuahkan hasil apa pun.
“Pertama bahwa setelah kita mencari berkas-berkas yang berkaitan dengan hal itu, kepada yang bersangkutan (Ibu Helliyana), itu tidak ditemukan sama sekali,” tegas Dr. Sulhan di Mapolda Babel.
Ia juga menjelaskan bahwa dokumen penting seperti Kartu Rencana Studi (KRS), Kartu Hasil Studi (KHS), bukti pembayaran kuliah, hingga skripsi—yang biasanya menjadi penanda kelulusan seseorang—semuanya nihil. Bahkan nama Helliyana tidak tercantum dalam daftar alumni maupun buku wisuda resmi.
“Maupun kayak skripsinya enggak ada. Tidak ada. KHS, KRS, termasuk bukti-bukti pembayaran itu tidak ada sama sekali,” lanjutnya.
Keterangan Dr. Sulhan tidak berhenti sampai di situ. Ia bahkan membandingkan tanda tangan pada ijazah yang diklaim Helliyana miliki dengan spesimen tanda tangan Rektor Azzahra yang asli. Hasilnya? Berbeda.
“Rektor tidak pernah mengaku ya? Tidak pernah menandatangani, dan itu tanda tangannya itu berbeda,” ujar Dr. Sulhan, seraya menyodorkan spesimen tanda tangan asli Rektor kepada penyidik.
Pernyataan ini memperkuat indikasi bahwa ijazah SH milik Helliyana diduga kuat merupakan produk ilegal atau palsu, dan tidak pernah dikeluarkan oleh pihak universitas secara resmi.
Dalam kapasitasnya sebagai pengacara dan mantan pejabat kampus, Dr. Sulhan mengaku tidak asing dengan kasus serupa. Ia menyatakan bahwa pernah menangani beberapa perkara ijazah palsu, dan pola-pola yang terlihat pada kasus Helliyana ini sangat mirip.
“Sekalipun ada ijazah, tapi yang harus dilihat adalah: benarkah ijazah itu? Ada PDDikti-nya atau tidak? Ada dokumen pendukungnya atau tidak?” katanya.
Menariknya, dalam pernyataannya, Dr. Sulhan menyebut bahwa ia ditunjuk langsung oleh mantan Rektor sebelumnya, Dr. Drs. Samsul Alam Maka, M.Si., untuk memberikan keterangan ke pihak kepolisian. Hal ini karena kompetensinya sebagai pakar hukum sekaligus karena rekam jejaknya sebagai dekan kampus yang bersangkutan selama hampir dua dekade.
“Pak Rektor setuju tentang hal itu, dan beliau menyampaikan khusus untuk hal ini, kasus seperti ini saya beberapa kali menghadapinya di universitas yang sama,” kata Sulhan.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, tidak hanya karena menyangkut etika seorang pejabat publik, tetapi juga karena potensi tindak pidana yang melekat di dalamnya. Jika terbukti menggunakan gelar palsu, Helliyana dapat dijerat dengan pasal-pasal pidana sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pemalsuan dokumen.
Penggunaan gelar akademik secara tidak sah, apalagi oleh seorang pejabat tinggi negara, bukan hanya melanggar hukum tetapi juga mencoreng integritas jabatan publik dan mencederai kepercayaan masyarakat. Dunia pendidikan pun ikut terseret dalam skandal ini, menimbulkan pertanyaan besar tentang pengawasan terhadap legalitas ijazah yang beredar.
Kini bola panas berada di tangan penyidik Polda Bangka Belitung. Bukti awal berupa pernyataan resmi dari pihak universitas dan ketidaksesuaian tanda tangan rektor sudah cukup menjadi pintu masuk untuk menyelidiki lebih dalam. Publik menanti, akankah penyidikan ini mengarah pada penetapan tersangka?
Jika Polda serius, maka tidak menutup kemungkinan skandal ini bisa menjadi titik balik dalam upaya menertibkan penggunaan gelar akademik oleh pejabat publik yang selama ini nyaris tanpa pengawasan ketat.
Kasus ini bukan sekadar persoalan ijazah—ia adalah pertaruhan kepercayaan publik, marwah institusi pendidikan, dan integritas pemimpin daerah. (Farraz Prakasa)