DETIKBABEL.COM, MENTOK, BANGKA BARAT — Pada suatu pagi yang mestinya tenang di Sabtu, 12 Juli 2025, hiruk-pikuk mesin ekskavator tak lagi sekadar gema dari pelosok hutan. Deru besi itu kini berdentum di ambang pintu pemerintah. Hutan lindung yang berdiri tak jauh dari kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Bangka Barat telah dikoyak oleh tambang timah ilegal—dan luka itu kini menganga tepat di sisi jantung birokrasi. Sabtu (12/7/2025).
Kerusakan tak lagi tersembunyi. Tanah menganga, pepohonan tercabut, dan ekskavator terus meliuk seperti monster logam di atas tubuh bumi yang terkulai. Saking dekatnya pengerukan, Gedung Graha Aparatur dan lapangan tenis yang semula berdiri angkuh, kini berada di ambang runtuh oleh tangan-tangan rakus yang tak mengenal batas.
Wakil Bupati Bangka Barat, Yus Derahman, turun langsung ke lokasi pada pagi itu. Wajahnya muram, suaranya tegas, nadanya getir—seolah sedang menyaksikan tubuh rumahnya sendiri dilubangi dari dalam.
“Kita akan usut tuntas. Jangan sampai yang di bawah ini disepelekan. Bukti sudah ada, harus ada efek jera,” ucapnya dengan nada yang lebih mirip ultimatum ketimbang sekadar pernyataan.
Tak hanya soal perusakan, Yus Derahman juga menuding adanya aroma pembiaran. Tambang ilegal ini tidak tumbuh dalam gelap. Ia tumbuh di siang bolong, di bawah mata terbuka, namun seolah tak terlihat.
“Kelihatannya seperti itu, karena adem ayem saja. Sampai rusak parah, jangan sampai terulang kedua hingga ketiga kalinya,” katanya lirih, namun menyimpan amarah.
Ironi pun menggelegak dari ucapannya. Pemerintah yang memiliki wewenang justru tampak tak berdaya. Dan aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi pagar dan mata awas negara, kini dituding lebih nyaman duduk di balik meja ketimbang berjalan menelusuri jejak tambang liar.
“Sebenernya APH kita sudah lengkap semua. Waspada terus. Yang bagian hutan pantau hutannya, jangan hanya di kantor,” tambahnya dengan nada mengingatkan.
Pernyataan ini bukan sekadar kritik; ia adalah tamparan keras yang disampaikan dari dalam istana sendiri. Sebuah pengakuan bahwa sistem pengawasan, meski lengkap di atas kertas, lumpuh saat dihadapkan pada praktik di lapangan.
Hingga kini, belum ada kepastian siapa aktor di balik tambang ilegal ini. Tapi yang pasti, hutan telah kehilangan perisainya, dan pemerintah daerah kini berdiri di batas paling rentan antara kewenangan dan kelalaian.
Tambang ilegal bukan semata tentang timah dan alat berat. Ia adalah gejala dari penyakit dalam yang bernama pembiaran sistemik. Sebab jika kejahatan bisa berjalan mulus di balik dinding kekuasaan, maka yang runtuh bukan hanya pohon-pohon—tapi kepercayaan rakyat terhadap negara. (Belva/KBO Babel)