DETIKBABEL.COM, Jakarta – Surat terbuka yang ditulis oleh jurnalis senior Edy Mulyadi kepada Presiden Prabowo Subianto menuai perhatian luas. Dalam surat tersebut, Edy secara lugas dan tajam menuntut pencopotan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang dinilainya telah mencederai kepercayaan rakyat, khususnya masyarakat Aceh, akibat kisruh pemindahan empat pulau ke Provinsi Sumatera Utara melalui Surat Keputusan (SK) Mendagri. Sabtu (21/6/2025).
Edy menyebut Tito telah “bermain api di atas lautan minyak” – metafora untuk menggambarkan bahaya besar yang ditimbulkan oleh langkah Tito terhadap daerah istimewa seperti Aceh.
Menurutnya, keputusan sepihak terkait batas wilayah itu tak hanya menyakiti sejarah panjang Aceh, tapi juga berpotensi menghidupkan kembali bara konflik yang pernah sulit dipadamkan.
“Surat itu bukan sekadar jeritan seorang gubernur. Ia juga pekikan rakyat Aceh yang merasa ditikam dari belakang,” tulis Edy, merujuk pada surat dari Gubernur Aceh Muzakir Manaf kepada Presiden bertajuk Pulau Kami, Harga Diri Kami, yang sebelumnya telah viral.
Dalam narasinya, Edy tak hanya menyorot insiden administratif, tetapi juga mengungkap rekam jejak Tito yang menurutnya sarat kontroversi dan penuh tanda tanya.
Ia menggugat keberadaan Satgasus Merah Putih – satuan khusus yang dibentuk Tito saat menjabat sebagai Kapolri. Satgasus, kata Edy, pernah disebut sebagai “negara dalam negara” karena kekuatannya yang tak tersentuh hukum dan dugaan keterlibatan dalam beragam bisnis ilegal, mulai dari judi, tambang, hingga narkoba.
Tak berhenti di situ, Edy turut mengungkit skandal “Buku Merah” di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang isinya diduga memuat aliran dana dari pengusaha ke sejumlah petinggi Polri, termasuk nama Tito.
Ia menyayangkan bagaimana halaman penting buku itu justru dirobek oleh penyidik KPK dari unsur Polri, lalu tak pernah diproses secara hukum. Ironisnya, para penyidik yang diduga terlibat justru dipromosikan.
“Pelaku perobek buku tak sempat dapat sanksi. Mereka malah mendapat promosi,” sindir Edy dalam suratnya.
Namun kritik Edy tidak hanya diarahkan pada Tito. Ia juga menantang sikap Presiden Prabowo yang dinilainya terlalu lunak terhadap para menterinya, khususnya Tito. Menurut Edy, jika Tito tetap dipertahankan dalam kabinet, maka wajar publik menduga bahwa Presiden tersandera oleh utang politik atau pengaruh dari kelompok tertentu yang ia sebut sebagai “Geng Solo“.
“Kalau benar Tito bagian dari Geng Solo, bukankah apa yang dilakukannya bisa jadi skenario membusukkan pemerintahan Bapak dari dalam?” tulis Edy.
Ia menyinggung pernyataan Prabowo sendiri soal ketidaksukaannya terhadap istilah ‘matahari kembar’ di pemerintahan, dan mengingatkan bahaya dari pembiaran terhadap tokoh-tokoh dengan rekam jejak gelap.
Edy juga menyindir narasi keberhasilan Tito yang kerap digaungkan. Ia bertanya dengan nada tajam, “Apa parameternya? Memuaskan buat siapa? Buat rakyat, Tito justru mengerikan!”
Dalam penutup suratnya, Edy memperingatkan bahwa jika Presiden tak segera bertindak, rakyat akan kehilangan harapan.
Ia menekankan bahwa menjaga kepercayaan publik lebih penting daripada melindungi kepentingan politik sesaat.
“Jangan biarkan harapan itu berubah menjadi kekecewaan,” tulis Edy, seraya mendoakan agar Presiden diberi hikmah dan keberanian oleh Tuhan dalam mengambil keputusan yang benar.
Surat terbuka ini menambah tekanan terhadap isu sensitif batas wilayah di Aceh, sekaligus menyulut kembali sorotan terhadap Mendagri Tito Karnavian. Banyak pihak kini menunggu, apakah Presiden Prabowo akan menanggapi secara langsung surat dari seorang jurnalis yang berani bersuara lantang demi menjaga kehormatan rakyat dan integritas negara. (KBO Babel)