DETIKBABEL.COM, Oleh: Eddy Supriadi Pemerhati Politik Lokal dan Pendidikan, Mantan Kadis Pendidikan dan Kebudayaan
—
Pilkada ulang Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka pada 27 Agustus 2025 bukan hanya peristiwa politik periodik, tapi momentum menentukan arah baru pemerintahan lokal di Bangka Belitung. Pertarungan politik yang semula dianggap sebagai kontestasi terbuka kini mulai mengerucut pada tiga poros besar: PDIP–Gerindra, kekuatan poros KIM lokal, dan jalur independen yang kini secara resmi mengusung pasangan Eka Mulya–Radmida Dawam.
Dalam peta terbaru, Gerindra menunjukkan langkah politik progresif dengan membuka dan menyepakati koalisi strategis bersama PDIP. Ini merupakan sinyal penting bahwa dua partai besar nasional yang kerap berseberangan di pusat, kini menyatu di daerah. Lebih dari sekadar koalisi elektoral, ini adalah fondasi politik untuk menyusun agenda pembangunan yang berkesinambungan dan stabil bagi rakyat Pangkalpinang dan Bangka.
Namun, dinamika internal PDIP menunjukkan gelagat klasik: tarik-menarik figur. Dua nama menguat: Maulana Aklil (Molen) dan Prof. Saparudin (Prof. Udin). Jika PDIP terlalu ngotot hanya dengan satu figur dan tidak mempertimbangkan masukan mitra koalisi, maka sangat disayangkan. Kesepakatan koalisi jauh lebih strategis dan berjangka panjang ketimbang sekadar pertarungan ego figur.
Secara akademis dan politik, Molen unggul secara realistis: ia memiliki rekam jejak, jejaring loyalis, pengalaman lima tahun sebagai Wali Kota, serta tingkat popularitas yang tak bisa diabaikan. Sementara Prof. Udin memiliki kredibilitas akademik namun belum cukup kuat dalam infrastruktur politik akar rumput. Oleh karena itu, jika PDIP rasional dan berpihak pada kemenangan, Molen adalah opsi paling logis.
Gerindra sudah memberi isyarat positif, dan itu patut diapresiasi. Saat partai nasional membuka pintu untuk berdamai dalam visi membangun daerah, maka hal itu lebih penting daripada perdebatan siapa wali kota–wakil wali kota atau bupati–wakil bupati. Politik daerah seharusnya tidak terjebak pada ego sektoral atau ambisi jangka pendek, tetapi pada kerja sama lintas partai untuk kesejahteraan jangka panjang.
Namun di luar poros PDIP–Gerindra, poros independen juga tak bisa diremehkan. Pasangan Eka–Radmida telah resmi lolos verifikasi faktual dan siap bertanding. Ini menjadi warna baru dalam demokrasi lokal: bahwa rakyat punya alternatif yang lahir dari gerakan sosial politik akar rumput, bukan sekadar instrumen partai. Radmida yang berlatar birokrat dan Eka dari kalangan pengusaha menengah ke atas, menawarkan simbol perubahan dari luar sistem partai.
Sementara itu, Golkar, Demokrat, PAN, dan KIM Plus lokal diprediksi akan berhitung ulang dalam membentuk poros alternatif. Jika tidak segera menentukan arah, bisa jadi mereka hanya menjadi pelengkap demokrasi, bukan pengubah peta. Namun jika berhasil membentuk satu koalisi solid dengan figur yang kuat, poros ketiga ini justru bisa menjadi penentu dalam putaran akhir.
Pilkada kali ini juga mengandung pelajaran yuridis: bahwa sistem pemilu kita memberi ruang untuk semua jalur—baik partai maupun independen. Namun pada akhirnya, yang akan menang bukan sekadar siapa yang paling keras kampanye, tetapi siapa yang paling kuat membangun kepercayaan rakyat.
—
Rakyat Kota Pangkalpinang dan Bangka hari ini tidak sedang mencari pemimpin yang banyak bicara dan berjanji. Mereka mencari kepemimpinan kolaboratif yang bisa menyambung pembangunan, menyelesaikan persoalan dasar, serta bersih dari konflik kepentingan.
Maka dari itu, siapa pun yang ingin menang, turunkan tensi elit dan naikkan rasionalitas koalisi. Bukan waktu lagi bermain-main dengan ego kandidat, karena rakyat sedang menunggu:
bukan siapa yang menang, tapi siapa yang bisa bekerja.
—
Penutup:
Koalisi PDIP–Gerindra adalah harapan stabilitas. Poros independen Eka–Radmida adalah suara perubahan. Poros KIM lokal adalah potensi kejutan. Pilkada 2025 adalah ruang uji siapa yang benar-benar berpikir untuk rakyat, bukan hanya bertanding untuk kursi.