Pilkada Langsung atau Tidak Langsung: Ujian Demokrasi atau Ujian Materi?

Advertisements
Advertisements

Oleh: Eddy Supriadi Pemerhati Politik Lokal di Bangka Belitung

DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang – Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke tangan DPRD kembali mencuat. Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah elite partai menyampaikan wacana ini dengan alasan efisiensi anggaran dan tingginya ongkos politik. Namun, benarkah akar masalah demokrasi lokal hari ini ada pada sistem pemilihannya?

Menjelang pilkada ulang Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka tahun 2025, wacana ini menjadi ujian serius atas praktik demokrasi kita: apakah pemilu lokal adalah ekspresi kedaulatan rakyat, atau hanya seremonial politik yang dibeli oleh kekuatan modal?

 

Konstitusi dan Makna Kedaulatan Rakyat

Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pemilihan langsung merupakan pengejawantahan prinsip ini. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 bahkan menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu demokratis yang tak dapat dipisahkan dari hak rakyat untuk memilih secara langsung.

Mengembalikan pilkada ke DPRD tanpa persetujuan rakyat sama saja mengubah prinsip dasar demokrasi menjadi representasi tertutup yang tidak lagi mengakar.

 

Landasan Historis dan Yuridis

Sejarah mencatat, sebelum 2005 kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun praktiknya sering terjebak dalam kompromi elite dan politik uang yang tertutup dari publik. Reformasi hadir untuk mengoreksi itu. UU No. 32/2004 kemudian memperkenalkan pilkada langsung sebagai jalan pembaruan.

Jika kita kembali ke sistem lama, kita bukan sedang berinovasi, melainkan mengulang luka sejarah.

 

Realitas Sosial dan Politik Biaya Tinggi

Tak bisa dimungkiri, sistem pemilu langsung masih menyisakan tantangan besar. Politik uang merajalela, biaya kampanye sangat mahal, bahkan kadang melampaui Rp50 miliar untuk satu kursi kepala daerah.

Namun masalahnya bukan terletak pada sistem langsungnya, melainkan pada budaya politik yang belum sehat. Mengganti sistem tanpa membenahi kultur politik hanya akan memindahkan pusat transaksi dari rakyat ke ruang-ruang tertutup DPRD.

 

Aspirasi Rakyat: Demokrasi Harus Dijaga

Survei Politika Research & Consulting (PRC, 26 Juni 2025) menunjukkan 58 persen masyarakat menolak pilkada tidak langsung, bahkan dari kalangan yang percaya pada DPR. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap lembaga politik tidak cukup untuk menggantikan hak dasar rakyat memilih pemimpinnya.

Di Kota Pangkalpinang dan Bangka, publik menunjukkan antusiasme besar terhadap keterlibatan langsung. Ini bukan sekadar hak, tetapi rasa kepemilikan terhadap masa depan daerah.

 

Demokrasi sebagai Proses Bukan Proyek

Demokrasi bukan proyek efisiensi fiskal, melainkan proses pembentukan legitimasi politik dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Biaya demokrasi memang tinggi, tetapi jauh lebih tinggi biaya sosial dan politik ketika demokrasi dimanipulasi oleh elit dan uang.

Jika kita kehilangan suara rakyat, maka suara kekuasaan akan kehilangan makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *