Detikbabel.com, Koba – Malam semakin larut, antrean di halaman Polres Bangka Tengah tak kunjung reda. Wajah-wajah lelah para honorer tampak menunggu giliran untuk mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Dokumen itu menjadi syarat wajib dalam perpanjangan kontrak kerja tahunan, baik bagi pegawai honorer paruh waktu maupun penuh. Kamis (11/9/2025).
Mereka berasal dari berbagai instansi: sekolah, dinas teknis, hingga kantor pelayanan publik. Bukan hanya tenaga pendidikan, tapi juga pegawai administrasi yang mengurus laporan, pelayanan surat, sampai operator sistem di kecamatan. Meski status mereka tenaga honorer, nyatanya merekalah yang menopang roda birokrasi sehari-hari.
Namun, upah yang diterima setiap bulan jauh dari layak. Setelah berbagai potongan, gaji bersih yang dibawa pulang rata-rata hanya Rp1,8 juta. Jumlah itu tentu tak cukup untuk kebutuhan hidup layak, apalagi bagi mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi.
“Setiap tahun harus menyiapkan berkas, antre SKCK, dan kembali lagi ke BKD. Padahal pekerjaan yang kami lakukan sudah bertahun-tahun sama. Rasanya tidak pernah ada kepastian,” keluh seorang honorer perempuan di salah satu dinas pelayanan, yang sudah mengabdi lebih dari sepuluh tahun.
Kontrak Tahunan, Ketidakpastian Panjang
Bagi para honorer yang belum berstatus PPPK, kontrak kerja memang hanya tahunan. Meski terdengar lebih panjang daripada tiga bulanan, faktanya masa kontrak itu tidak memberikan jaminan apa pun. Setiap tahun mereka harus melengkapi syarat administrasi, menunggu verifikasi, dan berharap bisa diperpanjang.
“Kontrak tahunan itu sama saja formalitas. Kami tetap merasa digantung, karena tidak ada kepastian bisa terus bekerja tahun berikutnya,” ujar seorang honorer di salah satu kantor kecamatan.
Situasi serupa dialami honorer PPPK paruh waktu maupun penuh. Meski kontrak mereka juga tahunan, tetap saja setiap tahun harus melalui prosedur administrasi yang melelahkan. SKCK, surat sehat, hingga legalisasi dokumen pribadi menjadi syarat rutin. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan pun semakin memberatkan, mengingat gaji hanya Rp1,8 juta per bulan.
Dugaan “Titipan” di Instansi Pemerintah
Di tengah ketidakpastian itu, muncul isu yang membuat honorer lama semakin terdesak: dugaan adanya “orang titipan” yang diloloskan masuk instansi pemerintah tanpa kompetensi jelas.
Beberapa honorer senior di Bangka Tengah menceritakan pengalaman serupa. Di sekolah ada pegawai baru yang bahkan tak paham mengoperasikan komputer, sementara di dinas ditemukan pegawai kontrak baru yang minim pengetahuan soal administrasi. Meski demikian, mereka tetap diterima dan mendapat posisi strategis.
“Di kantor saya, ada pegawai kontrak baru yang pekerjaannya hanya menyalakan dan mematikan komputer. Tapi karena ada ‘orang dalam’, mereka langsung ditempatkan,” ungkap seorang honorer teknis di dinas pembangunan daerah.
Situasi ini menimbulkan rasa ketidakadilan. Mereka yang sudah belasan tahun bekerja dengan dedikasi penuh justru merasa tersingkir. Dugaan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) pun semakin menguat dalam tata kelola honorer di Bangka Tengah.
Birokrasi yang Buram
Kasus ini memperlihatkan wajah buram birokrasi di Bangka Tengah. Pemerintah daerah tampak tidak memiliki kebijakan komprehensif untuk menata honorer. Sebaliknya, mereka dibiarkan hidup dalam ketidakpastian kontrak, gaji minim, dan syarat administratif berlapis.
“Seolah-olah tenaga honorer hanya dianggap sebagai alat kerja sementara, bukan manusia dengan hak dan kehidupan,” kata seorang aktivis pemerhati kebijakan publik di Koba.
Ironisnya, keberadaan honorer justru menjadi penopang utama jalannya pemerintahan. Dari urusan administrasi surat di kecamatan, pengelolaan data di dinas, hingga operasional sekolah, honorerlah yang bekerja paling banyak. Namun, penghargaan yang mereka terima minim, sekadar kontrak setahun sekali dengan gaji Rp1,8 juta.
Pertaruhan Hidup dan Masa Depan
Kondisi ini menempatkan honorer di persimpangan jalan. Mereka bisa memilih bertahan, menerima gaji pas-pasan dan tekanan birokrasi, atau menyerah lalu kehilangan pekerjaan yang sudah dijalani bertahun-tahun.
“Kalau kami protes, bisa saja kontrak tidak diperpanjang. Jadi lebih baik diam, meski hati menjerit,” kata seorang honorer perempuan di salah satu dinas pelayanan publik.
Kisah honorer paruh waktu di Bangka Tengah adalah potret rapuhnya birokrasi daerah. Tanpa perbaikan menyeluruh, praktik kontrak tahunan, gaji minim, dan dugaan titipan akan terus menghantui ribuan tenaga honorer. Pertanyaan yang belum terjawab: sampai kapan pemerintah daerah membiarkan ketidakadilan ini? (Detikbabel/red*)