PANGKALPINANG,DetikBabel.com – Andri Prabowo Als Bowo Bin Wagisan akhirnya kini bisa bernafas lega, pasalnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Dr Fadil Zumhana membebaskan tersangka Andri Bowo dari tuntutan hukum atas kasus atau perkara dugaan tindak penganiayaan dan kekerasan.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kapuspen Kejaksaan Agung RI melalui Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung, Basuki Raharjo SH MH, Selasa (12/5/2022) dalam siaran persnya.
“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorati Andri Prabowo Als Bowo Bin Wagisan f Perkara Tindak Pidana atas nama Andri Prabowo Als Bowo Bin Wagisan dari Kejaksaan Negeri Pangkalpinang yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana,” kata Basuki.
Tersangka Andri Bowo tersandung kasus lantaran berawal dari kejadian pemukulan terhadap seorang warga, Aditia Saputra Als Adit Bin Kamal Abdu (alam). Kejadian tersebut Sabtu, tanggal 26 Februari 2022 sekitar pukul 13.15 WIB di jalan Raya Lintas Timur II Selindung Kota Pangkalpinang.
Saat itu tersangka Andri Prabowo Als Bowo Bin Wagisan (Alm) memukul dan menendang saksi korban Aditia Saputra Als Adit Bin Kamal Abdu dengan menggunakan tangan kanan kearah dada, kepala dan wajah akibatnya saksi korban mengalami luka robek pada alis kanan ukuran 3,5 cm x 0,3 cm.
Selain itu, korban pun mengalami luka robek disudut mata kiri dekat hidung ukuran 1 cm x 0,1 cm, luka memar pada wajah didahi dan kedua mata bagian bawah, luka memar pada bagian kepala, luka-luka/kelainan mengakibatkan korban mengalami ganguan ringan untuk beraktifitas sementara waktu.
“Sesuai dengan Visum Et Revertum Nomor : 021/MR-VIS/III/2022 tanggal 02 Maret 2022 yang ditandatangani oleh Dokter Dr. Ardy Oktaviandi pada Rumah Sakit Bakti Timah Kota Pangkalpinang,” terang Basuki.
Adapun penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan : a.Kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang melindungi; b.Penghindaran stigma negatif; c.Penghindaran pembalasan; d.Respond dan keharmonisan masyarakat dan Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Selain itu, adapun penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan mempertimbangkan :a.Subjek, objek, kategori dan ancaman tindak pidana; b.Latar belakang terjadinya / diilakukannya tindak piidana; c.Tingkat ketercelaan; d.Kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; e. Cost and benefit penanganan perkara; f.Pemulihan kembali pada keadaan semula; serta adanya perdamaian antara korban dan tersangka.
“Adapun perkara tindak pidana dapat diitutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restotaif,” tegas Basuki.
Namun dalam hal terpenuhi syarat diterangkan Basuki yakni sebagai berikut :
a Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; b. Tindak pidana hanya diancam pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000.00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
“Bahwa dari hasil ekspose penanganan perkara yang telah disampaikan/dipaparkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Pangkalpiinang dimana Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan pertimbangannya menyetujui penanganan perkara tersebut dihentikan penuntutannya melalui proses Restoratif Justice,” terangnya.
Hal ini lanjutnya berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung Republk Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 dan untuk selanjutnya sebelum diberikan SKP2 (Surat Ketetapan Penghentian Penunututan) tersangka telah dilakukan perdamaian
Begitu pula, untuk melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative jaksa penuntut umum sangat hati-hati dalam mempertimbangkan untuk mengambil keputusan sebagai langkah terwujudnya asas kemanfaatan hukum bagi masyarakat dan tidak semua perkara dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Jjaksa Penuntut Umum harus memperhatikan, mempertimbangkan secara cermat yang menjadi syarat perkara tindak pidana tersebut layak atau tidaknya untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” jelas Basuki.
Jaksa penuntut umum dengan mengganut asas Dominus Liitis menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain penunutut umum yang bersifat absolut dan monopoli, penuntut umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki dan memonopoli penuntutan dan penyelesaian perkara pidana.
“Artinya selaku pengendali perkara, arah hukum dari suatu proses penyidikan maupun untuk dapat atau tidaknya dlakukan penuntutan terhadap suatu perkara tindak pidana hasil penyidikan adalah mutlak wewenang penuntut umum,” pungkasnya. (Red/Penkum Kejati Babel)
Comment