DETIKBABEL.COM, Simalungun — Suasana halaman Rumah Dinas Bupati Simalungun pada Jumat sore (15/8/2025) berubah menjadi catatan getir bagi dunia pers. Seorang wartawan yang hendak melakukan tugas jurnalistik di lokasi itu justru mendapat penghalang dari seorang ajudan bernama Leo, yang mengaku sebagai perpanjangan tangan Bupati Simalungun.
Kehadiran wartawan di rumah dinas tersebut semata-mata untuk meminta konfirmasi atas kerumunan warga yang konon katanya ingin menyampaikan aspirasi. Namun, bukannya mendapat ruang untuk menjalankan tugas, langkah sang wartawan terhenti ketika ajudan Bupati menghadangnya. Leo meminta agar wartawan menunjukkan surat izin resmi jika ingin melakukan wawancara atau konfirmasi terkait peristiwa yang sedang berlangsung.
Padahal, menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, wartawan tidak berkewajiban membawa surat izin ketika mencari informasi. Pasal 4 ayat (3) menegaskan dengan jelas: “Pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.” Dengan demikian, tindakan penghalangan yang dilakukan ajudan tersebut dinilai tidak sejalan dengan aturan hukum yang berlaku.
Tidak berhenti di situ, ajudan Bupati juga menanyai kartu tanda anggota (KTA) wartawan mengatakan jika ingin konfirmasi harus memiliki surat izin, bahkan dengan nada arogan sempat melontarkan tudingan bahwa wartawan itu tidak pernah mengikuti pelatihan pers. Sikap ini jelas keliru, karena otoritas untuk memverifikasi identitas maupun kompetensi wartawan sepenuhnya berada di organisasi pers dan Dewan Pers, bukan pada ajudan seorang kepala daerah.
Wartawan yang dihalangi, Zulfandi Kusnomo, menyampaikan kekecewaannya atas perlakuan tersebut. Menurutnya, insiden itu bukan hanya menyudutkan dirinya secara pribadi, tetapi juga mencederai kebebasan pers di daerah. “Saya datang hanya untuk konfirmasi, bukan mencari masalah. Tugas saya memastikan informasi berimbang agar masyarakat mendapat berita yang faktual. Tapi saya justru dihadang dan ditanya macam-macam, seolah-olah saya tidak sah sebagai wartawan. Padahal jelas di UU Pers, kami dilindungi,” ujarnya kepada awak media.
Pemandangan di balik pagar rumah dinas itu pun menjadi ironi. Demokrasi yang semestinya bernafas melalui kebebasan pers, justru terasa sesak oleh praktik birokrasi yang tidak pada tempatnya. Seakan-akan, cahaya kebenaran harus terlebih dahulu melewati izin seorang ajudan sebelum bisa disampaikan kepada publik. Hal ini mengingatkan bahwa tanpa pemahaman dan penghormatan terhadap aturan, kebebasan pers bisa terancam bahkan di tengah sistem demokrasi.
Pasal 18 ayat (1) UU Pers secara tegas menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.” Dengan ketentuan ini, penghalangan terhadap kerja jurnalistik bukanlah perkara sepele, melainkan tindak pidana yang memiliki konsekuensi hukum serius.
Koordinator Daerah Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) Sumatera Utara, Kemas Edi Junaedi, ikut menanggapi insiden tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan ajudan Bupati sudah termasuk kategori penghalangan kerja pers yang dilindungi undang-undang. “Seorang ajudan tidak berhak meminta surat izin atau menanyakan KTA wartawan, apalagi menghalangi liputan. Itu bentuk arogansi dan pelecehan terhadap profesi jurnalis. Jika tidak memahami aturan, sebaiknya belajar dulu tentang UU Pers, agar tidak mencederai demokrasi,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi baik dari ajudan Bupati Simalungun maupun pihak Pemerintah Kabupaten terkait insiden yang menimpa wartawan tersebut. Kasus ini diharapkan menjadi evaluasi bagi para pejabat dan aparat yang berada di sekitar kepala daerah, agar tidak melampaui kewenangan serta tetap menghormati peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.