Ujian Integritas DLHK: Villa Takari dan Dugaan Pembiaran Pelanggaran UU Lingkungan

Caption: Bambang Trisula Kabid Perlindungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bangka Belitung

Sumber: net

DETIKBABEL.COM, BANGKA – Publik kembali digemparkan oleh temuan bangunan villa permanen yang berdiri megah di kawasan hutan lindung Pantai Takari, Desa Rebo, Kabupaten Bangka. Meski bangunan tersebut diduga kuat tak mengantongi izin dan berdiri di atas lahan program Hutan Kemasyarakatan (HKM), sikap Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung justru memunculkan tanda tanya besar. Rabu (18/6/2025).

Melalui Kabid Perlindungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Trisula, DLHK menyatakan belum mengetahui keberadaan bangunan tersebut secara pasti.

Dalam pesan tertulis kepada media, Rabu (18/6/2025), Bambang justru meminta dokumentasi serta koordinat lokasi dari media untuk dilakukan verifikasi lapangan oleh pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

> “Apakah ada data atau foto-foto temuan di lapangan? Nanti saya akan minta KPH kami untuk verifikasi,” ujarnya.

Namun, sikap ini dinilai publik sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab. Informasi yang dihimpun media dari berbagai sumber menyebutkan bahwa DLHK—termasuk Bambang Trisula—pernah meninjau langsung lokasi bangunan tersebut bersama tim dari KPHP Sigambir dan bahkan memberi peringatan agar bangunan dibongkar.

“Masa iya mereka bilang belum tahu, padahal dulu datang dan menyuruh bongkar. Jangan-jangan mereka memang tutup mata,” ucap seorang warga Takari yang meminta identitasnya dirahasiakan.

 

Pelanggaran Hukum dan Dugaan Pembiaran

Fakta bahwa bangunan berdiri di kawasan hutan lindung tanpa izin jelas melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a dan e melarang setiap orang melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dan mendirikan bangunan di dalam kawasan hutan tanpa persetujuan.

Tak hanya itu, bangunan tersebut juga berdiri di atas lahan skema HKM yang sudah disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada kelompok tani bernama Tanjung Karang Lestari, yang selama ini menjadi mitra negara dalam menjaga kawasan konservasi Takari dari kerusakan dan klaim sepihak.

Namun, keberadaan bangunan yang diklaim oleh seseorang berinisial Yuli dan Dewi, yang mengaku sebagai ahli waris lahan, justru menyingkirkan hak masyarakat yang sah.

Bahkan muncul dugaan adanya pemalsuan dokumen warisan dan penguasaan sepihak yang mengarah pada tindak pidana lingkungan dan pertanahan.

 

Diamnya DLHK Jadi Pertanyaan

Sikap ‘hati-hati’ DLHK dalam memberikan pernyataan memang bisa dipahami secara prosedural.

Namun, dalam kasus ini, diamnya lembaga negara justru mencederai kepercayaan publik. Terlebih, ketika fakta-fakta awal menunjukkan DLHK telah melakukan peninjauan dan memberi teguran, tapi tak ada kelanjutan tindakan tegas.

Jika benar DLHK mengetahui adanya pelanggaran dan telah memberikan peringatan, namun tidak menindaklanjutinya, maka ini dapat dikategorikan sebagai pembiaran atas tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaga atau pejabat yang mengetahui pelanggaran namun tidak bertindak dapat dikenai sanksi pidana dan administratif.

 

Masyarakat Minta Ketegasan, Bukan Klarifikasi

Warga Desa Rebo, kelompok tani, serta aktivis lingkungan kini mempertanyakan integritas DLHK dan KPHP Sigambir.

Publik tidak lagi menunggu klarifikasi normatif, melainkan tindakan nyata: penghentian aktivitas ilegal, pembongkaran bangunan, dan pemulihan hak kelompok HKM.

> “Ini soal masa depan hutan lindung dan keadilan bagi kami yang selama ini menjaga kawasan ini dari tangan-tangan perusak,” ujar pengurus Kelompok Tani Tanjung Karang Lestari.

Tak hanya soal bangunan fisik, kasus Takari juga menyentuh aspek keadilan sosial. Masyarakat yang patuh hukum justru dipinggirkan oleh kekuatan modal yang kerap berlindung di balik klaim sepihak, celah hukum, dan—yang lebih memprihatinkan—pembiaran dari aparat.

 

Ujian Integritas Pejabat dan Lembaga

Kasus Takari menjadi cermin sekaligus ujian integritas bagi para pejabat lingkungan dan kehutanan di Babel.

Apakah mereka akan berdiri bersama hukum dan masyarakat? Ataukah memilih diam demi kenyamanan sesaat dan mengorbankan kawasan konservasi yang seharusnya dijaga?

DLHK, KPHP Sigambir, bahkan Gubernur Bangka Belitung sebagai atasan langsung lembaga ini, harus mengambil sikap tegas dan terbuka.

Jika tidak, maka masyarakat tak akan ragu untuk membawa persoalan ini ke level nasional, termasuk ke Komisi IV DPR RI dan KLHK di Jakarta.

 

Upaya Konfirmasi Berlanjut

Hingga berita ini diturunkan, Kepala KPHP Sigambir, Kusbiono, belum memberikan respons atas konfirmasi yang dikirimkan media.

Begitu juga Kepala Dinas LHK dan Gubernur Babel. Media akan terus melakukan upaya konfirmasi lanjutan.

Yang pasti, publik tidak butuh jawaban basa-basi, tetapi langkah konkret. Sebab membiarkan pelanggaran di kawasan hutan lindung sama saja dengan merusak masa depan ekosistem dan menihilkan peran masyarakat adat dan kelompok tani dalam konservasi. (KBO Babel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *