DETIKBABEL.COM, PANGKALPINANG — Kasus dugaan kelalaian medis yang menyeret nama dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes., kian memanas. Firma Hukum Hangga Of, yang mewakili dokter spesialis anak tersebut, resmi melayangkan permohonan pemeriksaan ulang perkara ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kepulauan Bangka Belitung.
Langkah ini, menurut kuasa hukum, ditempuh demi menjamin *supremasi hukum yang objektif dan transparan*.
Permohonan itu tidak hanya menuntut pemeriksaan ulang, tetapi juga *otopsi jenazah pasien alm. Aldo Ramadani (10)* untuk memastikan penyebab kematian yang sesungguhnya.
Menurut mereka, tanpa langkah itu, tuduhan kealpaan yang dialamatkan kepada klien mereka berpotensi timpang dan tidak adil.
Tiga Advokat, Satu Tujuan
Surat permohonan tersebut ditandatangani tiga advokat: Hangga Oktafandany, S.H., Andi Surya Teja, S.H., M.H., dan Purnomo, S.H., berdasarkan *Surat Kuasa Khusus Nomor 01-LP/25* tertanggal 16 Juli 2025.
Mereka bertindak atas nama dr. Ratna yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka melalui *Surat Ketetapan Nomor S.Tap/35/VI/RES.5/2025* terkait *Laporan Polisi Nomor LP/B/217/XII/2024/SPKT/POLDA BABEL* tanggal 12 Desember 2024.
“Kami menempuh jalur ini demi memastikan proses hukum berjalan adil dan menyeluruh, bukan hanya mencari kambing hitam,” tegas Hangga, saat ditemui di salah satu kafe di kawasan Sarinah, Jakarta, usai menyampaikan laporan ke Kementerian Kesehatan RI terkait dugaan maladministrasi dan kriminalisasi terhadap kliennya.
Rangkaian Kronologi Perawatan
Berdasarkan penelusuran tim kuasa hukum, kasus ini berawal dari **keluhan demam yang dialami Aldo** pada 26 November 2024.
* **27 November 2024:** Aldo berobat ke **dr. Fuji**.
* **29 November 2024:** Pasien berobat ke **dr. Novi**.
* **30 November 2024:** Kembali ke dr. Fuji, dilakukan pemeriksaan darah, namun hasil tidak disampaikan. Pasien diarahkan ke rumah sakit.
Siang itu, pukul 14.00 WIB, Aldo tiba di IGD **RSUD Depati Hamzah** dan ditangani oleh **dr. M. Basri**. Kondisi pasien memprihatinkan: mulut dan kaki membiru, disertai pembengkakan.
Pukul 14.20 WIB, **dr. Ratna** memberikan instruksi medis. Menjelang malam, pukul 17.59 WIB, ia menyarankan konsultasi dan perawatan bersama **dr. Kuncoro Bayu, Sp.JP** (spesialis jantung).
Pada pukul 19.12 WIB, dr. Kuncoro mendiagnosis pasien mengalami **Total AV Block**—gangguan konduksi listrik jantung—dan meminta pelaporan kondisi pasien setiap 30 menit.
Penanganan berlanjut hingga dini hari, melibatkan **dr. Aditya** dan **dr. Indria**.
Puncaknya, **1 Desember 2024** pukul 11.40 WIB, dr. Indria bersama perawat melakukan **resusitasi jantung paru (RJP)** atas persetujuan ayah pasien.
Namun, pukul 11.57 WIB, dr. Aditya menyatakan Aldo meninggal dunia.
Banyak Dokter Terlibat, Hanya Satu Tersangka
Kuasa hukum menegaskan bahwa **tujuh tenaga kesehatan** terlibat dalam rangkaian penanganan pasien, mulai dari pemeriksaan awal hingga tindakan terakhir:
1. dr. Fuji
2. dr. Novi
3. dr. Muhammad Basri
4. dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes.
5. dr. Kuncoro Bayu Aji, Sp.JP, M.Kes., FIHA.
6. dr. Aditya Fresno Dwi Wardhana
7. dr. Indria Savitri
“Semua dokter telah bekerja sesuai keilmuan masing-masing dalam kondisi darurat, saling memberi masukan, dan mengambil langkah medis terbaik,” ujar Hangga.
Yang menjadi tanda tanya besar: mengapa hanya dr. Ratna yang ditetapkan sebagai tersangka?
Padahal, dari segi kedudukan hukum, para tenaga kesehatan tersebut memiliki tanggung jawab yang setara dalam penanganan pasien.

Tudingan Pasal 440 UU Kesehatan
Dr. Ratna disangka melanggar **Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan**, yang mengatur sanksi pidana bagi tenaga medis atau kesehatan yang lalai hingga menyebabkan luka berat atau kematian.
Bunyi pasal tersebut:
* **Ayat (1):** Kealpaan yang mengakibatkan luka berat, diancam pidana penjara hingga 3 tahun atau denda Rp250 juta.
* **Ayat (2):** Kealpaan yang mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara hingga 5 tahun atau denda Rp500 juta.
Menurut kuasa hukum, unsur kealpaan yang mengakibatkan kematian **tidak dapat dibuktikan secara sah** tanpa pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh pihak yang menangani pasien, apalagi tanpa data medis yang diperkuat hasil otopsi.
Desakan Otopsi: Bukti Kunci yang Hilang
Salah satu tuntutan utama kuasa hukum adalah **dilakukannya otopsi** terhadap jenazah alm. Aldo.
Langkah ini, kata Hangga, krusial untuk menemukan jejak luka atau indikasi medis lain yang dapat menjelaskan penyebab pasti kematian.
Permintaan ini mengacu pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk meminta pemeriksaan otopsi jika ada dugaan tindak pidana yang menyebabkan kematian.
“Kami memohon kepada penyidik agar melakukan otopsi, supaya jelas apakah kematian ini akibat kelalaian medis atau karena kondisi medis yang memang sudah kritis sejak awal,” ujar Hangga.
Isu Transparansi dan Perlindungan Tenaga Kesehatan
Kasus ini memicu kekhawatiran di kalangan tenaga medis. Mereka menilai, proses hukum yang tidak transparan berpotensi menimbulkan **efek jera”* yang salah sasaran**—bukan terhadap kelalaian, tetapi terhadap semangat dokter dalam mengambil tindakan cepat di situasi gawat darurat.
Pemeriksaan sepihak terhadap satu dokter, tanpa melihat rangkaian penanganan pasien secara utuh, dinilai dapat menciptakan preseden buruk: dokter takut bertindak karena khawatir dikriminalisasi
Menunggu Respons Polda Babel
Hingga berita ini diturunkan, pihak Polda Kepulauan Bangka Belitung belum memberikan pernyataan resmi terkait permohonan pemeriksaan ulang dan otopsi tersebut.
Sementara itu, publik terus mengikuti perkembangan kasus ini, yang tidak hanya menyangkut **nasib seorang dokter**, tetapi juga **integritas sistem hukum** dan **perlindungan profesi tenaga kesehatan** di Indonesia.
Garis Besar Tuntutan Kuasa Hukum dr. Ratna
1. Pemeriksaan ulang perkara oleh Ditreskrimsus Polda Babel.
2. Pemeriksaan terhadap seluruh tenaga kesehatan yang terlibat, bukan hanya dr. Ratna.
3. Otopsi jenazah alm. Aldo untuk memastikan penyebab kematian secara ilmiah dan sah di mata hukum.
Jika tuntutan ini diabaikan, kata kuasa hukum, kasus ini berpotensi menjadi **cermin buram penegakan hukum**, di mana asas keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum tidak lagi berlaku.
Bagi mereka, ini bukan sekadar membela seorang dokter, tetapi **membela prinsip dasar penegakan hukum yang adil, transparan, dan berbasis bukti ilmiah**.(KBO Babel)