Surat Terbuka Alumni ISBA Desak Alih Kelola Asrama ke Pemprov Babel

Advertisements
Advertisements

DETIKBABEL.COM, PANGKALPINANG — Polemik laten soal Asrama Ikatan Mahasiswa Bangka (ISBA) kembali mencuat ke ruang publik. Kali ini bukan lewat aksi demonstrasi, melainkan melalui sebuah surat terbuka bernuansa refleksi sejarah dan kritik kebijakan yang ditujukan langsung kepada Bupati Bangka. Minggu (21/12/2025).

Surat tersebut ditandatangani oleh Zamhari Alparizhi, alumni ISBA asal Bandung, tertanggal 20 Desember 2025.

Dalam suratnya, Alparizhi tidak sekadar menyampaikan aspirasi personal, melainkan mengurai persoalan Asrama ISBA dari sudut pandang historis, yuridis, hingga filosofis.

Ia menegaskan bahwa ISBA lahir jauh sebelum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbentuk, dan sejak awal bukan hanya organisasi mahasiswa biasa, melainkan ruang kultural yang merekatkan anak-anak Bangka di perantauan.

“ISBA adalah simbol persatuan, solidaritas sosial, dan pembentukan karakter lintas wilayah,” tulis Alparizhi.

Ia menekankan bahwa ruh pendirian ISBA tidak pernah didasarkan pada sekat administratif kabupaten atau perbedaan identitas kependudukan.

Namun, dinamika pemerintahan berubah. Sejak Bangka Belitung resmi menjadi provinsi, struktur otonomi daerah menempatkan kabupaten dan kota sebagai entitas administratif yang berdiri sendiri, sementara provinsi berfungsi sebagai payung bersama. Di titik inilah, menurut Alparizhi, persoalan mulai muncul.

Secara administratif, Asrama ISBA tercatat sebagai aset Pemerintah Kabupaten Bangka. Akan tetapi, fungsi sosial asrama tersebut jauh melampaui batas wilayah kabupaten.

Fakta di lapangan menunjukkan, asrama dihuni oleh mahasiswa dan pelajar dari berbagai kabupaten/kota se-Bangka Belitung.

“Di sinilah terjadi ketidaksinkronan antara status hukum aset dan fungsi sosialnya,” tegasnya.

Ketidaksinkronan itu, lanjut Alparizhi, perlahan melahirkan gesekan berbasis identitas administratif, bahkan sampai pada perdebatan soal KTP—sesuatu yang dinilainya bertentangan dengan nilai dasar ISBA.

Peristiwa yang terjadi di Asrama ISBA Yogyakarta beberapa waktu lalu disebut sebagai “alarm sosial”. Bagi Alparizhi, kejadian tersebut menandai bahwa pola pengelolaan asrama berbasis kabupaten sudah tidak relevan dengan realitas Bangka Belitung hari ini yang plural dan terintegrasi.

Dalam kerangka filosofi pemerintahan, ia mengingatkan bahwa aset publik tidak semata dinilai dari kepemilikan hukum, tetapi juga dari asas kemanfaatan, keadilan, dan kepantasan.

Dari titik itulah ia menyampaikan sikap yang tegas: sudah saatnya pengelolaan dan kepemilikan Asrama ISBA diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Usulan ini, menurutnya, bukan bentuk penghapusan sejarah Kabupaten Bangka.

Justru sebaliknya, merupakan langkah rasional dan berkeadaban untuk menempatkan aset sesuai fungsi sosialnya. Pemerintah Provinsi, sebagai representasi seluruh kabupaten/kota, dinilai memiliki legitimasi yang lebih tepat untuk mengelola asrama lintas daerah.

Dengan status sebagai aset provinsi, sejumlah persoalan diyakini dapat diakhiri. Tidak ada lagi perdebatan asal-usul mahasiswa berbasis KTP, pengelolaan menjadi lebih inklusif dan adil, serta beban anggaran tidak lagi ditanggung sepihak oleh Kabupaten Bangka.

Yang terpenting, ISBA dapat kembali pada hakikatnya sebagai “rumah besar” mahasiswa Bangka Belitung, bukan simbol fragmentasi daerah.

Zamhari Alparizhi juga menegaskan bahwa penyerahan aset tidak perlu mengubah nama ISBA.

Nama tersebut tetap dipertahankan sebagai penghormatan terhadap sejarah dan jasa para pendiri.

Penyesuaian administratif, seperti lambang atau atribut kelembagaan, dinilai cukup tanpa mengubah makna dan tujuan besar organisasi.

Menutup suratnya, Alparizhi mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk meninggalkan ego kedaerahan sempit dan mengedepankan kebesaran jiwa.

Bangka Belitung, tulisnya, membutuhkan kepemimpinan yang mampu melihat persoalan secara utuh, lintas batas administratif, demi harmoni sosial dan masa depan generasi muda.

Surat tersebut turut ditembuskan kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung, Ketua DPRD Kabupaten Bangka, serta Alumni ISBA se-Indonesia.

Kini, bola panas berada di tangan pemerintah daerah: akankah alarm sosial ini dijawab dengan kebijakan yang berjiwa negarawan, atau kembali dibiarkan menjadi konflik laten yang berulang? (KBO Babel)