DETIKBABEL.COM, Anambas – Tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Kepulauan Anambas kembali menjadi sorotan tajam. Bukan karena penegakan Perda atau ketertiban umum, melainkan karena dugaan tunduknya aparat negara ini pada perintah seorang pegawai non-struktural saat mengusir jurnalis dari ruang rapat resmi DPRD.
Insiden ini terjadi pada Selasa (29/7/2025), dalam momentum penting pembahasan dan penandatanganan berkas persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2025. Saat itu, wartawan Ihsan Imaduddin tengah menjalankan tugas jurnalistiknya: mengambil dokumentasi di ruang sidang paripurna DPRD Anambas.
Namun di luar dugaan, seorang pegawai berstatus PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bernama Muksin, yang bekerja di lingkungan Sekretariat DPRD, justru memerintahkan anggota Satpol PP bernama Herman Supriadi untuk mengusir wartawan tersebut dari ruangan.
Bukan hanya wartawan yang merasa dirugikan atas insiden ini, namun publik juga digegerkan oleh kenyataan bahwa Satpol PP—yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban dan pelaksana aturan daerah—dapat diperintah oleh pegawai yang tidak memiliki kewenangan struktural.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran etika terhadap kebebasan pers, tapi juga mencerminkan runtuhnya integritas Satpol PP sebagai institusi yang seharusnya tunduk hanya pada garis komando yang sah,” tegas Ardian Hutabarat, pengamat kebijakan publik nasional, saat dimintai tanggapan.
Siapa Berhak Memerintah Satpol PP?
Secara normatif, Satpol PP berada di bawah komando Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP), dan dalam pelaksanaan tugasnya hanya tunduk pada perintah pejabat struktural yang sah seperti Bupati, Wakil Bupati, Sekretaris Daerah (Sekda), atau Kepala Bidang yang ditunjuk.
Dengan menerima perintah dari seorang pegawai PPPK yang bukan atasan langsung maupun pejabat struktural, personel Satpol PP dinilai telah melanggar hierarki dan prosedur kelembagaan.
“Kalau Satpol PP bisa diperintah oleh siapa saja, maka mereka bukan lagi alat negara untuk menjaga ketertiban umum, tapi alat kepentingan pribadi. Ini preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan,” lanjut Ardian.
Hal senada juga disampaikan oleh salah satu wartawan lokal yang enggan disebut namanya. Menurutnya, pengusiran terhadap wartawan dari ruang paripurna DPRD merupakan bentuk penghalangan kerja jurnalistik yang diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Potensi Pelanggaran Pidana
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers secara tegas menyatakan bahwa siapa pun yang secara sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
“Ini bukan persoalan sepele. Kami bekerja dilindungi undang-undang. Jika wartawan dilarang meliput tanpa dasar hukum yang jelas, apalagi karena alasan ‘diperintahkan oleh pegawai PPPK’, ini bisa masuk ranah pidana,” tegas salah satu jurnalis yang turut menyaksikan kejadian tersebut.
Belum Ada Klarifikasi Resmi
Hingga berita ini ditayangkan, Kepala Satpol PP Anambas belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden ini. Begitu pula Sekretaris DPRD maupun Muksin sendiri juga belum menyampaikan klarifikasi atas tindakan yang memicu kecaman tersebut.
Ketidakhadiran penjelasan dari pihak berwenang kian memperkuat dugaan bahwa telah terjadi pelanggaran prosedural serius yang mencoreng wajah institusi Satpol PP sebagai aparatur penegak peraturan daerah.
Wartawan Ihsan yang menjadi korban pengusiran pun hingga kini masih menanti permintaan maaf terbuka dari pihak-pihak yang terlibat.
Ia menyatakan tetap menghormati aturan dan protokol peliputan, namun menegaskan bahwa tindakan pengusiran tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Kasus ini menambah daftar panjang insiden yang menodai kebebasan pers dan profesionalitas institusi pemerintahan. Bila tidak disikapi dengan serius oleh Bupati dan DPRD Anambas, publik akan semakin meragukan komitmen pemerintah daerah dalam menjunjung transparansi, supremasi hukum, dan kebebasan informasi.
Dalam negara demokrasi, media bukan musuh, melainkan mitra dalam membangun ruang publik yang sehat. Maka, pembiaran atas tindakan sewenang-wenang seperti ini justru merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung, bukan penindas. (KBO Babel)