Rekomendasi MDP Disoal, Kuasa Hukum Sebut Kasus dr. Ratna Sarat Dugaan Kriminalisasi

Advertisements
Advertisements

DETIKBABEL.COM, PANGKALPINANG – Kasus dugaan malpraktik medis yang menyeret nama dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., M.Kes., dokter spesialis anak di RSUD Depati Hamzah, kian memanas. Aroma kontroversi muncul setelah tim kuasa hukum dari *Firma Hukum Hangga Off* melayangkan surat pengaduan resmi kepada Menteri Kesehatan RI dan Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), menuntut evaluasi kinerja Majelis Disiplin Profesi (MDP) yang mereka nilai cacat prosedur dan sarat dugaan kriminalisasi. Rabu (13/8/2025).

Surat pengaduan itu berdasarkan **Surat Kuasa Khusus Nomor 01-LP/25 tertanggal 16 Juli 2025**, yang menugaskan tiga advokat — Hangga Oktafandany, S.H., Andi Surya Teja, S.H., M.H., dan Purnomo, S.H. — untuk membela dr. Ratna. Kasus ini bermula dari laporan polisi **Nomor: LP/B/217/XII/2024/SPKT/POLDA BANGKA BELITUNG**, terkait kematian seorang pasien anak berusia 10 tahun pada 1 Desember 2024.

 

Kronologi Kasus

Menurut keterangan kuasa hukum, pasien awalnya menderita demam sejak 26 November 2024. Ia sempat berobat ke klinik dr. Fuji dan praktik dr. Novi, lalu dibawa ke IGD RSUD Depati Hamzah tanpa surat rujukan dan tanpa rekam medis dari fasilitas kesehatan sebelumnya. Penanganan awal dilakukan oleh dr. M. Basri, yang kemudian meminta instruksi dari dr. Ratna.

Sekitar pukul 17.59 WIB, dr. Ratna menyarankan konsultasi dan perawatan bersama dokter jantung. Spesialis jantung dr. Kuncoro Bayu, Sp.JP, mendiagnosis **Total AV Block** dan memberikan instruksi medis lanjutan. Pasien tetap dalam pemantauan hingga dini hari. Namun pada siang 1 Desember 2024, setelah dipindah ke ruang PICU, pasien meninggal dunia.

 

Dugaan Pelanggaran Prosedur oleh MDP

Pihak keluarga pasien menempuh jalur hukum, mulai dari somasi hingga laporan polisi. Ditreskrimsus Polda Babel kemudian memanggil lima dokter, termasuk dr. Ratna. Kuasa hukum mempersoalkan langkah ini karena dinilai melanggar **Pasal 305 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan**, yang mewajibkan dugaan pelanggaran profesi diperiksa terlebih dahulu oleh MDP sebelum masuk ke ranah pidana.

Pada 18 Februari 2025, Polda meminta rekomendasi MDP. Tim Pemeriksa dibentuk, terdiri dari dr. Prasetyo Edi, dr. Erfen Gustiawan, dan dr. Sudarsono, dengan panitera Rumia Nurul Aeni. Pemeriksaan dilakukan terhadap enam dokter, tetapi hasil rekomendasi justru mencantumkan delapan nama. Dari delapan nama itu, hanya dr. Ratna yang direkomendasikan untuk masuk ke tahap penyidikan.

Setidaknya tiga fasilitas kesehatan dan delapan dokter terlibat dalam rangkaian perawatan pasien ini. Namun MDP diduga menyembunyikan fakta dan temuan terkait keterlibatan pihak lain, lalu hanya mengarahkan sorotan pada klien kami,” tegas Hangga Oktafandany.

 

Dokter yang Tidak Pernah Bertemu Pasien

Menurut kuasa hukum, dr. Ratna tidak pernah bertemu langsung dengan pasien tersebut. Ia berperan memberi instruksi medis jarak jauh sesuai prosedur konsultasi spesialis. Dalam konteks Pasal 440 UU Kesehatan, yang mensyaratkan adanya perbuatan yang mengakibatkan luka atau kematian pasien untuk dapat dipidana, posisi dr. Ratna dinilai jauh dari unsur pelaku langsung.

Secara medis, mustahil menuduh seseorang yang tidak pernah kontak langsung dengan pasien sebagai pelaku tindakan yang melukai hingga menyebabkan kematian,” jelas kuasa hukum dalam dokumen pengaduannya.

Caption: Surat Laporan Pengaduan Firma Hukum Hangga Of yang tujukan kepada Menkes RI dan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI)

MDP Dianggap Abaikan Otopsi dan Pendapat Ahli

Kuasa hukum juga menuding MDP mengabaikan dokumen otopsi dan keterangan ahli. Padahal, **Pasal 133 ayat (1) KUHAP** jelas memberi kewenangan penyidik untuk meminta otopsi jika ada dugaan tindak pidana penyebab kematian. Dalam kasus ini, otopsi tidak dijadikan pertimbangan utama.

Selain itu, proses rujukan dari fasilitas kesehatan sebelumnya ke RSUD Depati Hamzah disebut tidak berjalan sesuai ketentuan **PP Nomor 28 Tahun 2024**. Namun MDP dinilai “menutup mata” atas pelanggaran administratif tersebut.

 

Alternatif Penyelesaian yang Dilanggar

Kuasa hukum juga menekankan bahwa **Pasal 310 UU Kesehatan** mewajibkan penyelesaian sengketa medis dilakukan terlebih dahulu melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan sebelum masuk ke jalur pidana. Fakta bahwa proses ini langsung berujung ke penyidikan polisi tanpa penyelesaian non-litigasi, dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak prosedural tenaga medis.

 

Desakan kepada Menteri Kesehatan

Dalam surat yang dikirimkan ke Menteri Kesehatan, kuasa hukum secara tegas meminta dilakukan evaluasi kinerja MDP dan/atau Tim Pemeriksa, sekaligus pencabutan rekomendasi penyidikan atas nama dr. Ratna. Mereka juga mendesak pelibatan Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI untuk meninjau kembali dugaan mal prosedur dan mal administrasi dalam kasus ini, sebagaimana diatur dalam **Pasal 48 Permenkes Nomor 12 Tahun 2024**.

Demi menjaga netralitas dan objektivitas perkara, kami memohon agar Menteri Kesehatan mencabut rekomendasi dimaksud, menyatakan MDP dan/atau Tim Pemeriksa telah melakukan mal prosedur dan mal administratif,” ujar Hangga kuasa hukum dr Ratna Setia Asih Sp.A dalam pertemuan dengan jajaran KKI, Rabu (13/8/2025)

 

Implikasi Lebih Luas

Kasus ini bukan sekadar perkara dugaan malpraktik atau kematian satu pasien anak. Ia menyentuh problem mendasar tata kelola penegakan disiplin profesi kedokteran di Indonesia. Rekomendasi sebuah lembaga profesi seperti MDP dapat berimplikasi langsung pada proses pidana, yang pada akhirnya mengancam kebebasan seorang dokter.

Bila tuntutan kuasa hukum dikabulkan, dampaknya bukan hanya pada posisi hukum dr. Ratna, tetapi juga dapat menjadi **preseden penting** dalam perlindungan prosedural bagi tenaga medis di seluruh Indonesia.

 

Respons KKI

Sementara itu, Ketua Konsil Kesehatan Indonesia, dr. Mohammad Syahril, Sp.P., MPH, menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti informasi yang disampaikan kuasa hukum dr. Ratna dengan menghubungi pihak Majelis Disiplin Nasional (MDN). KKI, kata Syahril, menghargai upaya hukum yang dilakukan kuasa hukum untuk membela hak kliennya.

Dengan tensi yang terus meningkat, semua mata kini tertuju pada langkah yang akan diambil Menteri Kesehatan. Apakah rekomendasi MDP akan dievaluasi, atau kasus ini akan terus bergulir di ranah pidana, menjadi ujian besar bagi sistem penegakan disiplin profesi kedokteran di Indonesia. (KBO Babel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *