Oleh: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. Economics and Policy Analyst.
DETIKBABEL.COM, Bangka Belitung – Di film, nuklir hampir selalu tampil sebagai penjahat utama. Ada ledakan raksasa, cahaya putih menyilaukan, dan awan jamur yang menjulang tinggi di langit. Hollywood tampaknya tak pernah bosan menjadikan atom sebagai bahan bakar drama. Dari Oppenheimer sampai Godzilla, energi nuklir kerap digambarkan sebagai kekuatan tak terkendali yang siap menghapus dunia dalam sekejap.
Namun di dunia nyata, nuklir jauh lebih membumi dan membosankan. Reaktor nuklir tidak meledak, tidak mengamuk, dan tidak bersinar seperti di layar lebar. Ia bekerja seperti dapur raksasa yang sangat disiplin, di mana reaksi fisi dikendalikan dengan presisi tinggi. Batang kendali menyerap neutron untuk memastikan reaksi berantai berlangsung pelan dan stabil, sementara sistem pendingin dan pengaman berlapis menjaga suhu tetap terkendali. Reaktor semacam ini bukan senjata, melainkan mesin pembangkit listrik yang efisien dan bersih.
Kekeliruan paling umum dalam film adalah menyamakan reaktor nuklir dengan bom atom. Padahal prinsip keduanya berlawanan. Bom atom dirancang agar reaksi fisi berlangsung secepat kilat, hingga energi dilepaskan secara eksplosif dalam mikrodetik. Sebaliknya, reaktor listrik dibuat agar reaksi berjalan terkendali selama bertahun-tahun. Di bom, ilmuwan mendorong reaksi berantai menjadi liar. Di reaktor, insinyur justru menahannya agar tetap jinak.
Hollywood, tentu saja, tidak tertarik pada keseharian sistem pendingin reaktor atau prosedur keselamatan yang panjang. Ia tertarik pada ketakutan kolektif. Dalam teori film, ancaman global seperti perang nuklir berfungsi sebagai simbol dari krisis moral manusia: godaan kekuasaan, kehilangan kendali, dan rasa bersalah terhadap kemajuan yang terlalu cepat. Maka dari itu, dalam Godzilla, radiasi menjadi metafora untuk keserakahan manusia terhadap alam; sementara dalam The Incredible Hulk, energi nuklir melahirkan kekuatan sekaligus kutukan. Semua itu bukan soal fisika, melainkan psikologi—tentang rasa takut manusia terhadap dirinya sendiri.
Ironisnya, sisi damai nuklir jarang mendapat sorotan kamera. Energi nuklir di dunia nyata membantu menghasilkan listrik dengan emisi karbon yang sangat rendah, memperkuat sistem kesehatan melalui radioterapi kanker, dan bahkan membantu pertanian lewat teknologi iradiasi serta pemuliaan tanaman. Program Atoms for Peace yang digagas PBB sejak 1950-an membuktikan bahwa kekuatan atom bisa menjadi alat kemanusiaan, bukan kehancuran.
Namun memang, film tentang reaktor yang bekerja stabil tidak akan menarik penonton. Tidak ada cahaya putih yang membutakan, tidak ada akhir dunia—hanya turbin yang berputar tenang, menyalakan kota dengan listrik bersih. Dalam keheningan itulah, energi nuklir menunjukkan sisi sejatinya: kekuatan besar yang tidak mencari perhatian, tetapi diam-diam menopang peradaban.
Reaktor Modern Mengeliminasi Resiko ‘Ledakan’
Teknologi nuklir modern, terutama jenis reaktor baru seperti Molten Salt Reactor (MSR), pada dasarnya telah meninggalkan risiko “ledakan” yang sering diasosiasikan dengan nuklir dalam imajinasi publik. Reaktor listrik tidak bisa meledak seperti bom, sebab prinsip fisikanya sama sekali berbeda. Bom nuklir memerlukan uranium dengan kadar pengayaan sangat tinggi, di atas 90 persen, dan reaksi berantai yang berlangsung secepat kilat. Sementara itu, reaktor pembangkit hanya menggunakan uranium 3 sampai 5 persen, dengan sistem kendali yang menjaga agar reaksi berlangsung pelan dan stabil. Bahkan dalam kondisi terburuk, reaksi akan berhenti sendiri karena peningkatan suhu justru menurunkan efisiensi reaksi fisi.
MSR mewakili arah baru dalam teknologi nuklir yang lebih aman dan efisien. Tidak seperti reaktor air bertekanan konvensional yang beroperasi pada tekanan tinggi hingga ratusan atmosfer, MSR bekerja dengan garam cair sebagai pendingin sekaligus pelarut bahan bakar. Garam cair ini mampu menahan suhu hingga lebih dari 700°C tanpa mendidih, namun tetap berada pada tekanan rendah, mendekati tekanan atmosfer. Karena itu, tidak ada risiko ledakan uap seperti pada reaktor berbasis air. Dalam MSR, bahkan jika terjadi kebocoran, bahan bakar cair akan mendingin dan mengeras dengan cepat, bukannya meledak.
Salah satu fitur keselamatan paling khas dari MSR adalah freeze plug, yaitu colokan garam beku di bagian bawah reaktor. Jika listrik padam atau suhu meningkat di luar batas aman, colokan ini otomatis mencair, membuat bahan bakar cair mengalir ke tangki penampung darurat yang tidak memungkinkan terjadinya reaksi berantai. Sistem ini bekerja tanpa campur tangan manusia, tanpa listrik, dan tanpa tekanan, menjadikannya contoh ideal dari konsep passive safety—keselamatan yang bergantung pada hukum fisika, bukan pada operator.
Dengan karakteristik seperti itu, reaktor generasi baru seperti MSR tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih efisien dan ramah lingkungan. Energi panas yang dihasilkannya dapat diubah menjadi listrik dengan efisiensi tinggi, dan limbah radioaktif yang dihasilkan jauh lebih sedikit. Teknologi ini menunjukkan bahwa energi nuklir modern tidak lagi sejalan dengan citra menakutkan yang dibangun Hollywood, melainkan wujud nyata dari disiplin ilmiah yang tenang: mesin besar yang bekerja dalam keheningan, tanpa cahaya menyilaukan, tetapi terus menyalakan peradaban. (Red)





