Menimbang Ulang Putusan MK: Pemisahan Pemilu dan Dilema Konstitusional Kita

Advertisements
Advertisements

DETIKBABEL.COM, Oleh: Eddy Supriadi, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi poros perdebatan nasional setelah memutuskan pemilu nasional dan daerah dipisahkan (Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024). Putusan ini menyatakan bahwa pemilu presiden dan legislatif pusat (DPR, DPD) harus dilaksanakan terpisah dari pemilu legislatif daerah (DPRD) dan kepala daerah (pilkada). NasDem menilai putusan ini inkonstitusional dan melanggar semangat Pasal 22E UUD 1945.

Di tengah suasana demokrasi yang sedang menata legitimasi, putusan ini seolah menarik rem mendadak. Ia bukan sekadar persoalan teknis tata waktu, tetapi mengandung implikasi mendalam secara yuridis, politis, bahkan filosofis.

 

 

1. Tafsir Konstitusi dan Peran Mahkamah Konstitusi

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Mahkamah sebelumnya telah menegaskan prinsip keserentakan pemilu melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang melahirkan model “pemilu serentak nasional”. Putusan terbaru justru membalik preseden tersebut dengan memisahkan pemilu pusat dan daerah.

Secara teori hukum tata negara, langkah MK dalam putusan ini terkesan melampaui fungsi sebagai negative legislator (Hans Kelsen), dan justru berperilaku sebagai positive legislator—membentuk norma baru melalui tafsir putusan. Padahal, pembentukan norma dan desain kelembagaan mestinya berada dalam kewenangan DPR bersama Presiden.

 

 

2. Implikasi Politis: Fragmentasi Elektoral dan Ketegangan Konstitusional

Putusan ini berisiko menimbulkan kekacauan administratif. Misalnya, masa jabatan anggota DPRD 2019–2024 harus diperpanjang tanpa legitimasi elektoral hingga pemilu legislatif daerah digelar bersama pilkada (2031). Hal ini berpotensi menciptakan kekosongan konstitusional dan krisis legitimasi daerah.

Selain itu, pemisahan pemilu memaksa partai politik menghadapi dua siklus besar secara terpisah. Ini bukan saja menambah biaya politik, tetapi juga menciptakan distorsi dalam perencanaan politik, rekruitmen calon, hingga distribusi logistik. Jika sebelumnya satu tarikan napas elektoral dapat menyatukan energi partai dan pemilih, kini justru akan terjadi fragmentasi dan “kelelahan demokrasi” (democratic fatigue).

 

 

3. Etika Demokrasi dan Substansi Prosedural

Dari sisi filosofis, demokrasi bukan hanya mekanisme menghitung suara, tetapi ekspresi etis kedaulatan rakyat dalam momen kolektif yang serentak. Pemisahan pemilu menggeser demokrasi dari peristiwa kolektif menjadi pengalaman administratif yang terpencar. Padahal seperti dikemukakan oleh Jurgen Habermas, legitimasi demokrasi lahir dari komunikasi publik yang rasional, terbuka, dan simultan.

Demokrasi Indonesia seharusnya memperkuat substansi prosedural (procedural legitimacy), bukan menambah kompleksitas teknis yang mereduksi partisipasi. Ketika pemilih dihadapkan pada dua momen pemilu terpisah, antusiasme politik dapat menurun, dan suara rakyat kehilangan momentum artikulasinya.

 

 

4. Jalan Tengah: Pemulihan lewat Legislasi dan Dialog Konstitusional

Meski MK bersikukuh pada putusan, kekacauan ini dapat diatasi melalui legislasi terbuka. DPR dan Presiden masih punya ruang untuk menyusun regulasi baru dengan memperhitungkan stabilitas, efisiensi, dan keserentakan nilai demokrasi.

Yang dibutuhkan saat ini bukan saling menyalahkan antar-lembaga, tetapi keberanian membangun dialog konstitusional. Demokrasi tidak akan kokoh jika fondasi etikanya digerus oleh kekuasaan tafsir tunggal, apalagi tanpa transparansi dan partisipasi publik.

 

 

Penutup

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 semestinya menjadi refleksi, bukan konklusi. Demokrasi tidak bisa dibangun dengan logika prosedural belaka, apalagi oleh otoritas tunggal yang tidak terpilih secara elektoral. Kekuatan konstitusi ada pada keadilannya yang dapat diterima oleh akal publik, bukan pada kekakuan hukum yang mengabaikan nalar demokrasi.

Dalam demokrasi, yang penting bukan hanya siapa yang menang, tapi bagaimana proses menuju kemenangan itu dijalankan dengan jujur, adil, dan bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *