Oleh : Reimaharsyahya Ramadhan — Mahasiswi Hukum UBB / Paralegal YLBH Rusti Justicia Babel
DETIKBABEL.COM, Perdebatan mengenai *Penitipan Kawasan Hutan (PKA)* kembali mengemuka dan memicu pro-kontra di tengah masyarakat. Kebijakan ini lahir dalam suasana politik hukum yang semakin menekan ruang ekologis, sekaligus menggambarkan bagaimana negara berupaya mencari jalan pintas atas persoalan penggunaan kawasan hutan yang selama ini tidak tertib izin. Sebagai mahasiswa hukum yang mempelajari filsafat hukum, saya melihat PKA bukan sekadar instrumen administratif, tetapi bagian dari persoalan yang jauh lebih mendasar : apakah negara masih menempatkan hukum sebagai penjaga keadilan ekologis dan hak masyarakat, atau sekadar sebagai instrumen pembenar kebijakan pembangunan.
Dalam pandangan *positivisme hukum*, suatu kebijakan sah selama dibentuk melalui prosedur yang sesuai. Di sisi ini, PKA mungkin terlihat sebagai “solusi legal” untuk menata penggunaan kawasan hutan yang terlanjur terpakai. Namun filsafat hukum tidak berhenti pada pertanyaan formal. *Lon Fuller* mengingatkan bahwa hukum yang baik harus memuat moralitas dari dalam dirinya—jelas, tidak kontradiktif, serta melindungi kepentingan umum. Ketika PKA justru menimbulkan kesan memberi legitimasi pada pelanggaran masa lalu, maka nilai moral hukum itu sendiri patut dipertanyakan.
Di sisi lain, *teori keadilan John Rawls* mengajarkan bahwa sebuah kebijakan layak disebut adil ketika memberikan perlindungan lebih besar bagi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks kawasan hutan, kelompok rentan itu adalah masyarakat adat dan warga lokal yang kehidupannya bertumpu pada hutan : sebagai ruang hidup, sumber pangan, dan simbol identitas. Jika PKA mengutamakan kepentingan investasi sementara masyarakat adat hanya menjadi objek yang terdampak, maka secara teori keadilan kebijakan ini kehilangan pijakan etiknya.
Perspektif *sosiologi hukum* juga menghadirkan kaca pembesar yang penting. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak konflik agraria justru muncul karena kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses penetapan status kawasan hutan. Ketika pemerintah memperkenalkan skema baru seperti PKA tanpa menjelaskan secara utuh konsekuensi sosialnya, maka potensi penolakan sangat tinggi. Hukum yang tidak sejalan dengan rasa keadilan masyarakat akan sulit diterapkan, meskipun secara formal ia sah.
Tidak kalah penting adalah *konstruksi hukum adat*. Bagi masyarakat adat, hutan tidak hanya dilihat sebagai aset ekonomi, tetapi sebagai bagian dari tatanan hidup yang dijaga secara turun-temurun. Ada nilai keseimbangan, larangan merusak, dan kewajiban menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam. Mekanisme seperti PKA yang terlalu berorientasi pada administrasi negara dan kurang mempertimbangkan hak ulayat berpotensi menggerus hukum adat yang sebenarnya menjadi sumber hukum hidup di banyak wilayah.
Dengan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, saya berpendapat bahwa PKA perlu ditempatkan dalam kerangka yang lebih hati-hati. Kebijakan ini tidak boleh menjadi ruang pemutihan pelanggaran, tetapi harus memastikan adanya pertanggungjawaban ekologis serta perlindungan hak masyarakat adat. Negara perlu menegaskan bahwa pembangunan bukan alasan untuk mengabaikan keadilan ekologis dan hak komunal.
Pada akhirnya, filsafat hukum memberikan pesan sederhana : hukum yang baik adalah hukum yang menjaga martabat manusia, melindungi alam, dan memastikan keadilan berjalan bagi semua pihak. Jika PKA ingin diterima, maka ia harus berpijak pada prinsip itu.











