DETIKBABEL.COM, Bangka Tengah, Sabtu 21 Juni 2025 – Aktivitas tambang timah ilegal yang kembali merebak di kawasan hutan lindung Dusun Nadi, Kecamatan Lubuk Besar, menjadi tamparan keras bagi wajah penegakan hukum di Provinsi Bangka Belitung. Meski sudah sempat ditertibkan oleh tim gabungan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Sungai Simbulan, tambang ilegal tersebut justru beroperasi lebih berani dengan mengerahkan tiga unit alat berat berupa excavator dan buldozer. Minggu (22/5/2025)
Praktik ini jelas-jelas telah melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 17 Ayat (1) yang melarang kegiatan yang mengakibatkan kerusakan hutan tanpa izin yang sah dari pemerintah. Selain itu, penggunaan alat berat dan penggalian komoditas tambang secara ilegal juga melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Pasal 158, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Namun ironisnya, hingga kini aktivitas tersebut tetap berlangsung bebas tanpa pengawasan berkelanjutan, seolah-olah hukum hanya sekadar wacana.
Pengakuan Mengejutkan Kopral Viktor Sinaga: “Itu Tambang Saya”
Salah satu hal paling mengejutkan dari kasus ini adalah munculnya pengakuan terbuka dari oknum TNI bernama Kopral Viktor Sinaga, yang menyatakan bahwa tambang timah tersebut adalah miliknya. Pernyataan tersebut dikutip dari konfirmasi media dan telah viral di jagat media lokal.
“Tidak ada kaitannya dengan Igus, itu tambang kami sendiri,” sebut Viktor dalam sebuah wawancara singkat.
Pengakuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang loyalitas anggota militer terhadap negara, khususnya kepada Panglima TNI, yang sebelumnya telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tentang dukungan TNI dalam pelestarian hutan dan pengamanan kawasan konservasi.
MoU tersebut seharusnya menjadi pijakan utama TNI untuk berperan aktif dalam menjaga hutan, bukan justru menjadi bagian dari jejaring yang merusaknya.
Spanduk Larangan Sekadar Simbol, Bukan Tindakan Nyata
Penertiban yang dilakukan pada 17 Juni lalu hanya menghasilkan pemasangan spanduk larangan beraktivitas di lokasi tambang. Namun kenyataannya, spanduk tersebut tidak memberikan efek jera. Aktivitas ilegal terus berlangsung seolah tidak terjadi penindakan apa-apa. KPHP Sungai Simbulan terlihat belum melakukan patroli lanjutan atau pemantauan terhadap tambang yang dengan terang-terangan beroperasi menggunakan alat berat.
Spanduk kini hanya menjadi simbol kosong yang menyiratkan kegagalan lembaga negara dalam menegakkan supremasi hukum. Padahal, Pasal 94 UU Kehutanan mengatur bahwa setiap aparat yang mengetahui adanya pelanggaran harus menindak dan melaporkannya, serta melakukan penegakan hukum secara aktif.
Kopral Naga: Figur Sentral Jaringan Tambang Ilegal di Dua Wilayah
Tak berhenti di situ, keberadaan Kopral Viktor Sinaga alias Kopral Naga, ternyata juga dikaitkan dengan aktivitas tambang ilegal lainnya di Kolong Koboy, Pangkalpinang—wilayah yang telah diberlakukan sebagai zona zero tambang. Sumber menyebutkan bahwa oknum TNI tersebut turut mengkoordinir tambang apung jenis Rajuk Tower di wilayah tersebut, mempertegas keterlibatan sistematis dalam praktik pertambangan ilegal lintas wilayah.
“Dia itu juga yang koordinir di Kolong Koboy, Bang,” ungkap sumber media ini.
Keterlibatan militer aktif dalam aktivitas ilegal seperti ini tidak hanya melanggar MoU TNI-Kemenhut, namun juga mencemarkan institusi TNI yang selama ini menjadi garda depan dalam menjaga integritas dan keamanan negara.
Lingkungan Rusak, Warga Terancam
Dampak lingkungan akibat tambang ilegal ini sangat besar. Penggunaan alat berat mempercepat degradasi lahan, menyebabkan kerusakan sistem akar pohon, memperparah erosi, serta memperbesar risiko banjir bandang dan longsor. Tak hanya itu, proses penambangan telah mencemari sumber air bersih yang digunakan oleh warga sekitar.
Kerusakan ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga menyentuh hak asasi masyarakat lokal untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat. Belum lagi konflik horizontal yang bisa timbul antara pihak penambang dan warga yang menolak tambang.
Gakkum DLHK dan KPHP Diminta Libatkan Polisi Militer
Keterlibatan oknum militer dalam kasus ini seharusnya tidak menjadi penghalang dalam proses penegakan hukum. Sesuai dengan MoU TNI-Kemenhut, KPH Sungai Simbulan dan Gakkum DLHK Provinsi Bangka Belitung memiliki dasar kuat untuk berkoordinasi dengan Polisi Militer (POM TNI) dalam menindak personel aktif yang terlibat pelanggaran lingkungan dan kehutanan.
Langkah tegas dari POM TNI juga diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi militer yang selama ini dijaga dengan penuh kehormatan. Penindakan internal oleh militer harus dilakukan tanpa kompromi, demi menjaga citra TNI di mata rakyat dan memperkuat komitmen nasional dalam menjaga kelestarian hutan.
Penegakan Hukum Jangan Tumpul ke Atas
Jika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka sesungguhnya yang hancur bukan hanya hutan, tetapi juga sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial. KPHP Sungai Simbulan dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa pasal-pasal dalam UU Kehutanan dan Minerba benar-benar ditegakkan, bukan hanya dikutip saat seremonial.
Jika merujuk pada Pasal 89 UU Kehutanan, pelaku perusakan hutan dengan menggunakan alat berat dalam kawasan hutan lindung terancam pidana penjara minimal 8 tahun dan denda hingga Rp5 miliar. Ini adalah bentuk sanksi yang tegas dan harus dijatuhkan tanpa pandang bulu.
Solusi Komprehensif: Penegakan, Edukasi, dan Partisipasi Publik
Permasalahan tambang ilegal seperti ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan spanduk larangan atau penertiban sekali waktu. Diperlukan pendekatan komprehensif, mulai dari:
1. Penegakan hukum tegas dan berkelanjutan, termasuk proses pidana bagi pelaku dan pemberi dukungan (termasuk oknum militer);
2. Kolaborasi antara KPH, DLHK, dan Polisi Militer untuk menindak anggota TNI yang terlibat;
3. Edukasi masyarakat sekitar hutan agar mereka menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan tidak tergoda oleh iming-iming ekonomi sesaat;
4. Mekanisme transparansi pengawasan hutan melalui audit lingkungan dan pelibatan organisasi masyarakat sipil sebagai kontrol publik.
Jangan Tunggu Hutan Menjadi Sejarah
Jika negara terus diam dan membiarkan aparaturnya terlibat dalam perusakan hutan, maka yang akan tersisa hanya puing-puing kepercayaan publik. Kawasan hutan lindung Dusun Nadi dan zona zero tambang di Pangkalpinang harus menjadi titik balik keberanian semua pihak untuk bertindak. Jangan tunggu sampai hutan hanya tinggal dalam buku-buku pelajaran. (KBO Babel)