Manuver Bos Timah Jono di Mentok, Beli Timah Rp180 Ribu per Kg: Bisnis atau Biang Kacau Harga?

Advertisements
Advertisements

DETIKBABEL.COM, MENTOK – Aroma kontroversi kembali menyeruak dari perairan Tembelok, Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka Barat. Dua hari terakhir, aktivitas tambang laut di kawasan ini menjadi sorotan publik, bukan hanya karena keramaian ponton-ponton *user* yang beroperasi, tetapi juga karena praktik jual beli pasir timah dengan harga di luar kebiasaan. Nama Jono, salah seorang bos timah asal Parittiga yang dikenal memiliki gudang penyimpanan di Simpangteritip, kini menjadi buah bibir. Minggu (14/9/2025).

Pasalnya, anak buah Jono tertangkap kamera membeli pasir timah langsung di jalan dengan harga fantastis: Rp170 ribu hingga Rp180 ribu per kilogram.

Cara yang dilakukan pun unik, bahkan terkesan meresahkan: para penambang yang pulang dari laut dicegat, lalu hasil tambangnya ditawar secara instan.

Bagi sebagian penambang, tawaran itu menggiurkan. Namun bagi para kolektor timah, harga tersebut dianggap tidak masuk akal.

Saya sempat ngalami, boceng anak buah pulang dari laut dicegat di jalan langsung ditawar. Tapi saya bilang sudah ada pembeli,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Di balik manuver Jono, tersiar kabar bahwa ia disebut-sebut berafiliasi dengan grup Agat, salah seorang kolektor timah besar dari Parittiga.

Namun kepastian apakah masih ada hubungan bisnis dengan Agat, belum jelas.

 

Model Baru Tambang Ilegal

Aktivitas tambang laut di Tembelok kali ini memang berbeda. Jika biasanya ponton selam dikoordinir panitia lengkap dengan lapak penimbangan, kini ratusan TI *user* dikelola langsung oleh warga.

Tidak ada cukong, tidak ada panitia, bahkan tidak ada lapak resmi. Semua murni hasil kerja sama warga dan nelayan. Dari hasil produksi pasir timah, 25 persen disisihkan untuk jatah kampung sebagai kompensasi sosial.

Namun, kemandirian semacam ini justru menyingkap persoalan lain. Penawaran harga yang terlalu tinggi, seperti dilakukan Jono, dinilai sejumlah pelaku berpotensi mengacaukan stabilitas harga di pasar lokal.

Rp170 ribu pasir timah dibeli Jono ini sebenarnya dak masuk akal dibanding keuntungan dan operasional. Bisa jadi kelompok ini ingin ngacaukan harga,” kata seorang pemain timah di Mentok.

Secara ekonomi, memang ada dampak positif. Kehadiran tambang laut Tembelok seakan menyuntikkan napas baru bagi warga Mentok.

Pedagang kecil, UMKM, warung makan, hingga pasar kembali bergeliat. Hiburan rakyat pun ikut terangkat. Setelah lama terpuruk akibat isu razia tambang dan jatuhnya harga pasir timah, warga kembali bersemangat.

Namun, keuntungan ekonomi tidak bisa menutupi kenyataan bahwa aktivitas ini ilegal. Tidak ada izin resmi, tidak ada pengawasan, dan jelas bertentangan dengan aturan.

 

Melanggar Undang-Undang

Praktik tambang ilegal, meski memberi dampak ekonomi, tetap merupakan tindak pelanggaran.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) secara tegas melarang kegiatan penambangan tanpa izin. Pasal 158 menyebutkan: *“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”*

Tidak berhenti di situ, aktivitas tambang laut ilegal juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kerusakan ekosistem laut, sedimentasi, hingga pencemaran air laut bisa menjadi konsekuensi nyata dari aktivitas ini.

Praktik jual beli ilegal di jalanan seperti yang dilakukan anak buah Jono juga masuk kategori pelanggaran tata niaga mineral. Tanpa mekanisme penjualan resmi melalui jalur PT Timah atau badan usaha pemegang IUP, kegiatan itu jelas melawan hukum.

Sayangnya, dilema muncul ketika penegakan hukum bersinggungan dengan kebutuhan ekonomi rakyat.

Sebagian warga mengaku keberadaan tambang ini telah menyelamatkan dapur mereka.

Mudah-mudahan lah Bang, ekonomi kita kembali menggeliat. Jadi jangan hanya bisanya razia,” kata sejumlah warga.

 

Jebakan Ekonomi Semu

Apa yang terjadi di Tembelok sesungguhnya potret klasik bagaimana tambang ilegal kerap dijustifikasi dengan dalih kesejahteraan masyarakat.

Namun sejatinya, keuntungan yang tampak hanyalah semu. Harga yang ditawarkan tinggi, tetapi tidak ada kepastian keberlanjutan.

Sewaktu-waktu, aparat bisa melakukan razia, produksi berhenti, dan ekonomi kembali terpuruk.

Lebih jauh lagi, praktik seperti ini justru menempatkan warga di barisan terdepan risiko hukum.

Penambang kecil dan nelayanlah yang berpotensi dijerat pidana, sementara aktor besar di belakang layar kerap lolos dari jerat hukum.

Fenomena “cegat di jalan” seperti dilakukan anak buah Jono hanyalah wajah baru dari tata niaga ilegal yang semakin berani.

Jika dibiarkan, praktik semacam ini bisa menimbulkan konflik horizontal antar kelompok penambang, kolektor, bahkan antar kampung.

 

Harapan dan Tegasnya Penegakan Hukum

Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak boleh menutup mata. Meski ekonomi rakyat patut diperhatikan, membiarkan tambang ilegal sama saja dengan membiarkan hukum kehilangan wibawanya.

Negara seharusnya hadir dengan solusi komprehensif: membuka ruang legalisasi terbatas, mempercepat mekanisme IUP bagi koperasi nelayan, sekaligus memperketat pengawasan agar tidak ada permainan harga oleh kelompok tertentu.

Kasus Tembelok menjadi pengingat bahwa keberpihakan pada rakyat bukan berarti menoleransi pelanggaran hukum.

Justru, dengan memberikan jalan legal yang jelas, masyarakat akan terlindungi dari jerat hukum sekaligus mendapat kepastian harga yang adil.

Sementara itu, praktik jual beli liar seperti dilakukan kelompok Jono harus segera dihentikan. Jika tidak, bukan hanya hukum yang dilecehkan, tetapi juga stabilitas ekonomi lokal yang dipertaruhkan. (KBO Babel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *