Oleh: SHILFI RAHMAH BELIA (Mahasiswa FH UBB)
DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang – Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung dan Serikat Mahasiswa Progresif (SEMPRO) berkolaborasi dalam kegiatan sosialisasi di Desa Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Fokus utama kegiatan ini adalah mendiskusikan tantangan penataan pertambangan rakyat melalui kacamata Hukum Pertambangan dan Keadilan Ekologis. Pertemuan ini menjadi ajang dialog penting antara mahasiswa, akademisi, dan Pemerintah Desa (Pemdes) Jada Bahrin untuk mencari solusi legal dan berkelanjutan.
Mahasiswa Hukum Memfasilitasi Dialog Soal IPR dan Tantangan Lapangan
Merespons krisis tersebut Mahasiswa Hukum membuka sesi dialog, hal ini mengungkap isu mendesak di desa tersebut. Kepala Desa Jada Bahrin menyampaikan bahwa Pemdes kini menghadapi tantangan serius terkait aktivitas tambang ilegal di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kepala Desa mengakui bahwa upaya penertiban sulit dilakukan karena jumlah penambang yang mencapai sekitar 500 orang, di mana sebagian besar teridentifikasi sebagai pendatang.
Pemdes menegaskan telah melarang keras kegiatan ilegal di DAS, namun upaya ini belum sepenuhnya efektif.
*Kenapa Partisipasi Masyarakat Sering Terabaikan — dan Mengapa Dialog Itu Penting*
Banyak regulasi pertambangan mengatur bahwa izin usaha pertambangan (IUP), UKL/UPL (izin lingkungan), serta analisis dampak lingkungan (AMDAL) harus melibatkan masyarakat atau setidak-nya mempertimbangkan aspirasi mereka. Namun dalam praktik di banyak daerah, partisipasi ini lemah atau bahkan diabaikan — keputusan izin bisa terjadi tanpa konsultasi memadai, sehingga masyarakat kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan, mengajukan keberatan, atau menolak jika dampak sangat merugikan.

Ketiadaan partisipasi yang bermakna kerap berujung pada rusaknya lingkungan, hilangnya sumber daya lokal, maupun masyarakat yang dirugikan — baik secara ekonomi, sosial, maupun kesehatan. Oleh karena itu, dialog antara masyarakat, akademisi/mahasiswa hukum, pemerintah, dan pelaku tambang menjadi mutlak agar kebijakan pertambangan benar-benar responsif terhadap kebutuhan dan hak masyarakat.
Kesimpulanya hukum sebagai Alat Perlindungan, Bukan Sekadar Regulasi
Lewat aksi pendidikan hukum dan dialog masyarakat seperti di Desa Jada Bahrin, kita melihat bahwa hukum bisa menjadi alat perlindungan dan pemberdayaan — bukan hanya alat regulasi yang berjarak dari masyarakat. Partisipasi aktif warga, literasi hukum, dan kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah bisa menjadikan pertambangan bukan momok penderitaan, tetapi bagian dari pembangunan berkelanjutan yang adil dan manusiawi. (*)












