Oleh: Sandi Batman
(Mahasiswa Universitas Gunung Maras, Fakultas Teknik Perkeliruan)
DETIKBABEL.COM, Bangka Belitung – Belakangan ini, suasana debat publik di negeri ini terasa makin panas. Bukan karena musim kemarau, tapi karena ada yang nalar dan egonya mulai terbakar.
Penyebabnya sederhana: beberapa mahasiswa menulis opini tentang energi nuklir — lalu langsung dituduh sebagai penulis bayaran.
Lucu juga, ya?
Di negara yang katanya menjunjung kebebasan berpikir, kok berpikir malah dianggap proyek?
Saya, Sandi Batman, mahasiswa Universitas Gunung Maras jurusan Teknik Perkeliruan, jadi ikut heran. Seolah kalau mahasiswa menulis dengan argumen ilmiah, otomatis ada “sponsor misterius” di belakangnya.
Padahal, bukankah kampus justru tempat menguji nalar, bukan menuduh tanpa dasar?
Coba kita lihat logika yang beredar:
Kalau mahasiswa menolak PLTN → disebut pahlawan rakyat.
Kalau mendukung PLTN → dituding antek proyek.
Kalau diam → dianggap apatis.
Akhirnya, mau berpihak atau tidak, semuanya salah.
Sungguh nasib tragis bagi kaum intelektual muda: salah bicara salah, diam pun salah.

Saya tidak sedang membela PLTN. Saya cuma membela hak setiap orang—termasuk mahasiswa—untuk berpikir dan menulis tanpa dicap sebagai “alat kepentingan”.
Sebab kalau semua opini yang tidak sejalan langsung dianggap pesanan, maka ruang publik kita akan penuh paranoia, bukan diskusi.
Apalagi tuduhan “framing berbayar” itu kini seperti jurus andalan baru: digunakan setiap kali kehabisan argumen.
Ironisnya, yang paling keras menuduh framing justru kerap membingkai opininya sendiri dengan narasi “atas nama rakyat”.
Sungguh teknik framing tingkat dewa — menuduh orang lain pakai bingkai, padahal dirinya sedang memoles bingkai versi pribadi.
Dosen saya di Fakultas Teknik Perkeliruan pernah berkata:
> “Kalau belum punya data, jangan keburu menuduh. Karena menuduh tanpa bukti itu seperti membangun reaktor tanpa uranium — bising di awal, meledak di tengah.”
Jadi, kalau memang tidak sepakat dengan pandangan mahasiswa soal PLTN, lawanlah dengan data dan logika, bukan dengan tuduhan dan imajinasi.
Diskusi keilmuan itu arena adu argumen, bukan lomba mencari kambing hitam.
Sebab yang kita butuhkan saat ini bukan generasi yang pandai curiga, tapi generasi yang berani berpikir.
Dan kalau memang tulisan mahasiswa bisa membuat pihak tertentu kepanasan, mungkin masalahnya bukan pada mahasiswa, tapi pada nalar mereka yang terlalu mudah terbakar. (Red)






