Oleh : AHMADI SOFYAN
JIKA diibaratkan sekolah, kedewasan kita masih pada tingkat Sekolah Dasar (SD) bahkan Taman Kanak-Kanak (TK), namun kita merasa sudah Sarjana sebagaimana titel yang kita sandang begitu gagahnya. Makanya saya tidak pernah menggunakan titel ataau pun gelar didepan dan dibelakang nama saya.
SELASA, 20 Juni 2023 nanti, saya berencana meluncurkan buku setebal 405 halaman yang berjudul: “Kiyai Ahmad Hijazi Jamain: Ulama yang Dirindukan Umat” di Pondok Pesantren Al-Islam Desa Kemuja, bertepatan dengan peringatan 100 hari wafatnya Sang Kiyai. Salah satu judul dalam tulisan saya di buku tersebut berjudul, “Kisah Monyet Makan Buah Manggis”.
Allahuyarham K.H. Ahmad Hijazi Jamain, dalam diskusi dan nasehat-nasehatnya seringkali melontarkan kalimat-kalimat yang sangat mudah dimengerti dan dipahami oleh lawan bicaranya. Apalagi dalam komunikasi itu, selalu ada humor ringan yang beliau lontarkan, baik itu berupa singkatan maupun cerita-cerita humor yang memiliki makna. Ada satu cerita dongeng yang pernah saya dengar langsung dari Tuan Guru saya K.H. Ahmad Hijazi.. Dalam perkembangan teknologi yang sangat pesat dan media sosial yang memberitakan apa saja, termasuk mengabarkan berita hoax, jika tidak cerdas menilainya, maka kita akan sangat mudah memvonis. Inilah fenomena yang begitu marak terjadi saat ini. Kisah “Monyet Makan Buah Manggis” adalah kisah yang penuh makna bagi kehidupan kita hari ini.
Bagaimana ceritanya, Pak Kiai?
Menurut Sang Kiai, ada seekor monyet yang baru pertama kali memakan buah Manggis. Karena belum pernah menikmati buah tersebut, maka ketika pertama kali menggigit buah (kulit) manggis ia merasa pahit di lidah, lantas buah tersebut ia buang dengan diiringi caci maki dari mulutnya karena meraskaan pahit dan kelat. Sebab kebenciannya terhadap buah manggis itu, lantas ia mengabarkan kepada seluruh binatang bahwa buah manggis itu rasanya pahit dan kelat. Lalu dengan gagahnya sang monyet pidato kemana-mana bahwa buah manggis itu rasanya pahit dan kelat, padahal yang tergigit oleh sang monyet itu baru kulit manggisnya bukan isi yang dikenal sangat manis.
Hasilnya, yang belum pernah makan buah manggis menjadi percaya bahwa buah manggis itu pahit, sehingga ikut mengabarkan kepada yang lainnya, bahkan mungkin membuat status di medsos yang memprovokasi bahwa buah manggis itu sangatlah pahit. Kepada warga masyarakat monyet dan sejenisnya untuk menjauhi si buah manggis, sebab sangat tidak bermanfaat dan hanya bikin mulut kelat sebab rasanya yang pahit. Banyak yang percaya, sebab banyak yang ceritanya sama sebab sang monyet pencicip buah (kulit) manggis itu telah membuktikannya langsung.
Namun ada segelintir monyet dan binatang lainnya yang malah diam dan bahkan ada yang tertawa akan kabar berita tersebut. Mereka tahu bahwa buah manggis itu manis dan yang pahitnya dan kelat itu adalah kulitnya. Mereka juga tahu bahwa yang tergigit oleh Monyet bodoh tersebut barulah kulit manggis, sedangkan setelah kulit yang kelat dan pahit itu, ada isi yang putih bersih dan rasanya manis. Mereka pun hanya diam bahkan ada juga yang mentertawakan kebodohan monyet yang berkoar-koar tersebut.
Refleksi dari dongeng “Monyet Makan Buah Manggis” yang diceritakan Kiai Hijazi ini adalah cermin fenomena kehidupan kita sekarang ini. Kerapkali kita melihat, mendengar dan merasakan sesuatu itu hanya dari luar saja, tanpa mau bersusah payah mendalaminya. Kita melihat sebuah persoalan hanya dari luar, tidak sampai ke dalam. Hanya satu sisi, melihat, mendengar, membaca bahkan menulis tanpa mengkaji dan memaknai lebih mendalam lagi sampai pada isi. Berbagai persoalan diukur dari perasaan sendiri dan yang parah adalah memaksakan perasaan itu kepada orang lain. Inilah yang membuat kehidupan berbangsa dan berbudaya bahkan beragama sekalipun, kita tak pernah masuk ke dalam ranah dewasa. Sehingga jika diiibaratkan sekolah, kedewasan kita masih pada tingkat Sekolah Dasar (SD) bahkan Taman Kanak-Kanak (TK), namun kita merasa sudah Sarjana sebagaimana titel yang kita sandang begitu gagahnya.
Saya mengistilahkan ini adalah perilaku “hanya karena merasa” inilah yang akhirnya menciptakan manusia-manusia kaget, entah itu kaget struktural, kaget sosial, maupun kaget spiritual. Kita kerapkali merasa besar, ternyata kenyataannya kita tak sebesar yang kita rasa, sehingga ketika ada orang yang tidak menganggap diri kita besar alias kecil kita kecewa dan murka. Kita sering merasa pintar, tapi kenyataannya banyak hal yang tak kita ketahui dalam hidup ini, bahkan persoalan dan kenyataan yang ada didepan lobang hidung sendiri seringkali tak kita ketahui, dan ketika ada orang yang mengetahuinya dan memberitahu kita malah emosi.
Kita sering merasa diri kita adalah seonggok mutiara, tapi pada kenyataannya kita tak lebih dari serbuk-serbuk ringan atau tepung yang tak berarti apa-apa. Kita kerapkali merasa paling alim, sehingga Sorga seakan-akan sudah kita kapling, tapi pada kenyataannya kealiman yang nampak itu hanya dipermukaan saja, karena yang ada adalah kesombongan dan kepicikan dalam berpikir karena menganggap orang lain durjana.
Kita merasa banyak berbuat dan berjasa terhadap lingkungan dan daerah, tapi pada kenyataan itu hanya keterpaksaan belaka dan bahkan karena ada keinginan terselubung dibaliknya. Kita selalu merasa setiap kalimat yang kita ucapkan atau kita tulis semua orang menyukai, tapi pada kenyataannya pujian orang hanya didepan kita saja, menoleh ke belakang sedikit saja, justru mereka sinis dan bahkan tertawa sambil menumpahkan muntah di punggung kita. Kita pun merasa karya kita yang paling indah, pada kenyataannya orang lain yang menikmati justru muntah mengeluarkan segala isi perutnya.
Fenomena “Maling Besar” yang dilontarkan oleh Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Suganda Pandapotan Pasaribu yang viral sekarang ini, dimana posisi kita? Apakah cerita Pak Kiai tentang “Monyet Makan Buah Manggis” ini sudah cukup? Saya jadi ingat syair lagu dari group band Ungu, “Pernahkah kau merasa…..!!”.
Salam Merasa!
(Publish: Dwi Frasetio KBO Babel)
Comment