Caption : Ilustrasi (Opini)
“Transparansi Terlambat, Kepercayaan Publik Tergerus: Kritik atas Kaburnya Napi dari Lapas Tuatunu”
Opini oleh : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW
DETIKBABEL.COM, KBOBABEL.COM (Bangka Belitung) – Kabar kaburnya narapidana bernama Zulfikar alias Zul dari Lapas Kelas IIA Tuatunu, Pangkalpinang, bukan hanya menimbulkan kegemparan di masyarakat, tapi juga memperlihatkan dengan terang sebuah ironi yang menyakitkan: lembaga yang seharusnya menjadi simbol keamanan dan ketertiban justru menunjukkan sikap bungkam yang berbahaya. Tak ada pernyataan resmi, tak ada rilis pers, bahkan konfirmasi awal pun diabaikan. Barulah setelah berita viral dan mendapat sorotan publik, muncul pernyataan dan aksi yang digambarkan seolah-olah telah “dilakukan sejak awal”.
Sikap tertutup ini bukan hanya menimbulkan kekecewaan, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pemasyarakatan. Lapas bukanlah entitas eksklusif yang bisa memilih kapan harus menjelaskan dan kapan bisa diam. Dalam konteks pelayanan publik dan keamanan, informasi mengenai pelarian napi jelas merupakan isu krusial yang menyangkut keselamatan masyarakat. Setiap detik keterlambatan informasi bisa berarti satu langkah lebih dekat napi pada kejahatan berikutnya, atau celaka yang bisa terjadi pada warga sipil yang tidak tahu menahu.
Mengacu pada kronologi yang dikumpulkan Jaringan Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO Babel), sikap diam Lapas Tuatunu sangat tidak dapat dibenarkan. Konfirmasi yang tidak dijawab, klarifikasi yang ditunda dengan alasan “sedang mengajar CPNS“, hingga akhirnya balasan singkat muncul setelah pemberitaan naik — semua ini memperlihatkan bahwa transparansi bukanlah bagian dari refleks kelembagaan mereka. Yang lebih ironis, sikap responsif justru baru muncul saat pemberitaan menjadi viral.
Apakah publik hanya berhak tahu ketika media memaksa? Atau lebih parah lagi, apakah kejujuran institusi bergantung pada seberapa besar tekanan opini publik? Bila ya, ini menjadi refleksi menyedihkan dari wajah birokrasi yang justru mempermainkan komunikasi publik dan akuntabilitas.
Tak berhenti di sana, kasus ini juga memperkuat sinyal bahwa ada masalah sistemik di dalam Lapas Tuatunu. Publik tentu masih mengingat peristiwa tragis pada September 2024, ketika seorang napi berinisial AS tewas setelah diduga dianiaya oleh sesama tahanan di blok BBG. Bahkan dalam insiden itu, dugaan adanya “blok istimewa” yang dihuni oleh napi dengan “cuan” juga mengemuka. Mereka disebut memiliki akses yang jauh lebih bebas dibandingkan napi lain. Kembali lagi, pihak Lapas membantah, namun seperti kasus kaburnya Zulfikar, bantahan itu datang bukan dalam semangat klarifikasi, melainkan reaktif atas tekanan pemberitaan.
Situasi seperti ini memperlihatkan dua hal. Pertama, ada persoalan manajemen dan pengawasan yang lemah. Jika benar Zulfikar bisa kabur pada siang hari, itu menunjukkan bahwa sistem pengamanan Lapas, baik berupa fisik maupun pengawasan personel, berada dalam kondisi rentan. Kedua, ada pola pembungkaman informasi yang berulang. Tidak hanya ketika napi kabur, tetapi juga ketika napi meninggal akibat kekerasan di dalam penjara. Pola ini memperlihatkan bahwa Lapas seolah tidak belajar dari kasus ke kasus.
Dalam era digital saat ini, publik bukanlah objek pasif yang hanya menerima informasi sepihak dari institusi negara. Mereka aktif, kritis, dan mampu mengakses informasi dari berbagai sumber. Ketika informasi kredibel ditahan, yang muncul justru spekulasi liar, kekhawatiran, dan ketidakpercayaan. Dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi keamanan merupakan bahaya tersendiri bagi stabilitas sosial.
Transparansi dalam konteks institusi pemasyarakatan seharusnya tidak bersifat selektif. Tidak hanya soal program pembinaan dan keberhasilan reintegrasi sosial yang dipublikasikan, tetapi juga soal kegagalan, termasuk pelarian dan kekerasan di dalam penjara. Dengan bersikap terbuka, lembaga pemasyarakatan bisa menunjukkan komitmennya terhadap reformasi, serta mengajak masyarakat untuk turut berperan dalam pengawasan dan bantuan.
Sebaliknya, sikap tertutup dan memilih diam hanya akan memperpanjang mata rantai persoalan. Apalagi jika setiap insiden hanya dijawab ketika media sudah memberitakan, dan baru ditindaklanjuti setelah menjadi trending topic. Ini jelas mencerminkan kelembagaan yang defensif dan tidak proaktif.
Situasi ini juga menjadi kritik keras terhadap Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, untuk benar-benar mengevaluasi manajemen komunikasi dan keamanan di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Jangan sampai setiap Lapas bertindak seolah-olah mereka adalah institusi independen yang tak perlu akuntabilitas publik.
Ke depan, Lapas Tuatunu dan seluruh lapas di Indonesia harus belajar bahwa kepercayaan publik bukan dibangun dari diam dan reaksi lambat. Melainkan dari kesigapan, keterbukaan, dan kesiapan menghadapi kritik. Kabar napi kabur bukan hanya aib, tetapi juga alarm keras bahwa sistem perlu diperbaiki. Jika tidak, maka kasus serupa akan terus berulang — dan setiap ulangannya, akan semakin memudarkan rasa aman masyarakat.
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada pernyataan resmi apakah Zulfikar telah berhasil ditangkap atau masih dalam pelarian. Dan ini membuat publik bertanya-tanya: jika publik saja tak diberi akses informasi yang seharusnya mereka tahu, bagaimana mungkin mereka bisa ikut membantu menjaga keamanan lingkungan mereka sendiri?
Pemerintah pusat, Ombudsman, hingga lembaga legislatif daerah perlu mencermati peristiwa ini sebagai tanda bahwa manajemen Lapas perlu direformasi secara serius. Tak hanya dalam pengamanan fisik, tetapi juga dalam pengelolaan informasi dan hubungan dengan masyarakat. Karena pada akhirnya, negara tidak hanya harus hadir, tetapi juga harus jujur kepada rakyatnya.
Lapas bukan benteng tertutup yang hanya melayani narapidana dan petugas. Ia adalah bagian dari ekosistem keadilan yang harus tunduk pada prinsip akuntabilitas. Setiap kejadian besar, seperti napi kabur atau napi tewas di dalam, bukan hanya tanggung jawab internal, tapi juga kepentingan publik.
Keterbukaan bukan bentuk kelemahan. Justru dengan transparansi, kepercayaan dibangun. Dan tanpa kepercayaan publik, sebesar apapun dinding lapas, akan rapuh menghadapi badai krisis berikutnya. (Redaksi)
————————————————————————————————————————
Penulis : Rikky Fermana,S.IP.,C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW (Penanggungjawab KBO Babel, Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber/PJS Babel, Ketua DPW Babel IMO Indonesia dan Kontributor Berita Nasional)
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Saran dan masukan atas tulisan ini silahkan disampaikan ke redaksi di nomor WA kami 0812 7814 265 & 0821 1227 4004 atau email redaksi yang tertera di box Redaksi.