DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang — Sidang kedua perkara Nomor 295/Pid.Sus/2025/PN Pgp dengan terdakwa dokter spesialis anak, dr Ratna Setia Asih, dengan majelis Hakim Marolop winner Pasrolan Bakara, SH, MH (Ketua), dengan hakim anggota Rizal Firmansyah, SH, MH, dan Wiwien Pratiwi Sutrisno, SH, MH, kembali digelar di ruang Tirta PN Pangkalpinang, dengan agenda pembacaan eksepsi. Kamis (11/12/2025)
Tim kuasa hukum terdakwa dari Firma Hukum Hangga & Partners, Hangga Oktafandany SH bersama dr Agus Ariyanto SH MH (Advokasi PB IDI) menyampaikan sejumlah keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka menilai proses penanganan perkara ini cacat prosedur sejak tahap penyidikan dan bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
1. Laporan Polisi Dinilai Salah Alur
Dalam eksepsinya, kuasa hukum menegaskan bahwa perkara ini seharusnya tidak dapat langsung dilaporkan ke Kepolisian, karena UU Kesehatan mengatur bahwa dugaan pelanggaran pelayanan kesehatan wajib terlebih dahulu diadukan ke Majelis Disiplin Profesi (MDP).
Namun faktanya, penyidikan bermula dari Laporan Polisi Nomor LP/B/217/XII/2024 di Polda Bangka Belitung.
“Ini merupakan bentuk kecerobohan prosedur,” demikian eksepsi menyebut, karena:
• Polisi bukan lembaga berwenang menerima laporan dugaan pidana kesehatan.
• Penyidikan harusnya hanya dilakukan PPNS Kesehatan setelah ada rekomendasi dan putusan MDP.
2. MDP Belum Mengeluarkan Putusan, Hanya Rekomendasi
Kuasa hukum juga menyoroti bahwa MDP hanya mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan, bukan putusan disiplin atau sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 306 UU Kesehatan.
Rekomendasi tersebut masih bersifat dugaan, bukan kepastian pelanggaran. Karenanya, belum ada:
• Putusan pelanggaran disiplin,
• Sanksi profesi,
• Proses restorative justice,
• Peninjauan kembali kepada Menteri Kesehatan.
“Tanpa seluruh tahapan itu, perkara ini belum memenuhi syarat formil untuk masuk ke tahap penyidikan pidana, apalagi disidangkan,” bunyi eksepsi.
3. PN Pangkalpinang Dinilai Tidak Berwenang
Berdasarkan ketidaksesuaian prosedur dan belum dilaksanakannya seluruh mekanisme MDP, kuasa hukum menilai PN Pangkalpinang secara absolut tidak berwenang memeriksa perkara ini.
“Pengadilan diminta mengeluarkan putusan sela yang menyatakan tidak berwenang, atau memerintahkan penyidik melakukan pemeriksaan ulang sesuai UU Kesehatan,” Tegas Hangga.
4. Tidak Ada Bukti Forensik yang Menyimpulkan Penyebab Kematian
Kuasa hukum juga menyinggung tidak adanya otopsi maupun visum et repertum yang dapat menentukan penyebab kematian pasien.
Ketidaklengkapan alat bukti ini dinilai bertentangan dengan Pasal 133 KUHAP dan tidak memenuhi minimal dua alat bukti sah untuk melanjutkan proses peradilan.
5. Tuduhan Kelalaian Dinilai Tidak Tepat
Dalam uraian materi pokok perkara, tim advokasi menyatakan bahwa terdakwa telah menjalankan prosedur standar (SPO) secara benar saat menangani pasien di IGD RSUD Depati Hamzah.
Perbedaan antara:
• “Tidak sesuai standar” (pernyataan MDP), dan
• “Kelalaian/kealpaan” (dakwaan Pasal 440 ayat 2 UU Kesehatan),
disebut sebagai ketidaksesuaian substansi yang berimplikasi pada lemahnya dasar dakwaan.
6. Pemeriksaan pada Tiga Fasilitas Kesehatan Dinilai Tidak Relevan
MDP memeriksa tiga fasilitas kesehatan berbeda (Klinik Mitra Sehat, Praktik dr Ase, dan RSUD Depati Hamzah), namun menurut kuasa hukum, hanya RSUD yang relevan dengan tindakan terdakwa.
Ini memperkuat dugaan bahwa rekomendasi MDP tidak spesifik ditujukan kepada terdakwa, melainkan bersifat umum dan menyentuh banyak pihak.
Kuasa Hukum: Ada Upaya Kriminalisasi
Tim advokasi IDI menilai proses hukum yang berjalan telah “melompati” mekanisme yang diatur UU Kesehatan dan menimbulkan persepsi kriminalisasi terhadap profesi dokter.
“Ketergesa-gesaan menarik perkara ini langsung ke ranah pidana tanpa melalui jalur profesi telah merugikan hak terdakwa, MDP, bahkan Menteri Kesehatan,” ujar Hangga.
Majelis Hakim akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk mendengar tanggapan Penuntut Umum atas eksepsi tersebut.
Perkara ini mendapat perhatian publik, terutama dari kalangan medis, karena dianggap menjadi preseden penting dalam penerapan UU Kesehatan baru menyangkut dugaan tindak pidana dalam pelayanan kesehatan. (KBO Babel)









