Investigasi Mendalam Tata Kelola Plasma Sawit di Bangka Barat: Perkebunan Salah Menafsirkan Keadilan Dituliskan Negara

Advertisements
Advertisements

Penulis: Belva Al Akhab dan Tim

DETIKBABEL.COM, MENTOK, BANGKA BARAT — Tiga puluh tahun setelah negara menuliskan aturan yang tegas tentang ganti rugi, perlindungan ruang hidup, kewajiban plasma 20 persen, serta tanggung jawab sosial perusahaan, keadilan justru menjadi barang paling langka di kebun sawit Bangka Barat. Konflik agraria terus berulang dan mengeras, melibatkan perusahaan sawit terutama PT Bumi Permai Lestari dan PT Gunung Sawit Bina Lestari. Negara hadir lewat surat, rapat, dan pernyataan resmi, tetapi menghilang ketika hukum menuntut tindakan. Di antara izin yang tersusun rapi dan kebun yang terhampar luas, plasma tetap menjadi janji yang tak pernah menetas.

Intinya jelas sejak awal. Dokumen negara Nomor 138/1977/1/1995 tertanggal 1 November 1995 memerintahkan ganti rugi harus diselesaikan sebelum penggusuran, sungai, kuburan, dan hutan cadangan wajib dilindungi, masyarakat berhak atas bibit dan pemupukan, serta perusahaan harus melaporkan pelaksanaan kewajiban kepada Bupati. Dokumen itu menutup ruang tafsir. Negara sudah berbicara gamblang. Namun tiga dekade kemudian, surat tersebut lebih sering diperlakukan sebagai fosil birokrasi ketimbang kompas kebijakan.

Kewajiban plasma 20 persen dan CSR yang secara hukum tidak opsional, tak berjalan puluhan tahun. Teguran dari pemerintah daerah dan DPRD berulang, tetapi sanksi tak pernah sungguh-sungguh dijatuhkan. Konflik agraria meluas ke sedikitnya 18 desa, diperparah oleh tumpang tindih izin antara HGU kebun sawit dan IUP timah milik PT Timah Tbk. Negara memilih mengelola kekecewaan, bukan menegakkan hukum.

Rujukan hukum termasuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diulang dalam pernyataan publik. Namun kekecewaan berhenti sebagai retorika. Teguran menggantikan sanksi. Dialog menggantikan tenggat. Izin tetap aman, pelanggaran tetap hidup. Dalam praktiknya, hukum diperlakukan seperti nasihat moral: boleh didengar, boleh diabaikan.

Program kemitraan, revitalisasi, plasma, dan CSR pada kebun BPL dicatat tidak pernah berjalan konsisten lebih dari dua dekade. Ini bukan lagi kelalaian administratif. Ini ketidakpatuhan sistemik yang dipelihara oleh pembiaran. Di DPRD Bangka Barat, kemarahan telah lama menjadi bahasa resmi sejak 2013. Namun ketika delegasi DPRD mendatangi kantor pusat perusahaan di Jakarta, yang ditemui justru pejabat tanpa kewenangan kebijakan sebuah simbol telanjang dari ketidakseriusan.

Dari 18 desa, warga turun ke jalan menuntut realisasi plasma 20 persen dari total HGU BPL dan meminta ruang hidup melalui izin menambang di lahan tumpang tindih HGU–IUP. Bagi warga, ini bukan keserakahan, melainkan strategi bertahan hidup di tengah ruang hidup yang menyempit.

“Tanah kami masuk HGU, tapi kami tidak dapat plasma. Tambang masuk IUP, tapi kami dilarang menambang. Kalau begitu, negara sebenarnya berpihak ke siapa?” kata Rudi, warga Desa Kelapa.

Prosedur disebut-sebut, meja negosiasi tetap sunyi. Di Bangka Barat, peta izin selalu lebih cepat disahkan ketimbang keadilan ditegakkan.

Penelitian Universitas Bangka Belitung mencatat sebagian warga menilai dampak sosial (62 persen) dan ekonomi (66 persen) keberadaan BPL positif. Namun statistik hanya mencatat yang terlihat, bukan yang hilang.

“Angka bisa bicara apa saja. Tapi rasa kehilangan tanah tidak bisa dihitung dengan persen,” ujar Siti, ibu rumah tangga. Angka menjadi bahasa aman bagi negara, sementara kehilangan tetap menjadi bahasa sehari-hari warga.

Ia hadir di sumur yang mengering, dapur yang kian mahal, dan kebun kecil yang lenyap.

“Dulu kami punya lada dan karet. Sekarang sawit mengelilingi rumah. Katanya pembangunan. Bagi kami, belanja makin mahal dan tanah makin jauh,” tutur Marni (47), warga Desa Kacung.

“Katanya sawit buka lapangan kerja. Tapi perempuan paling banter harian. Kalau plasma ada, kami tak perlu berharap belas kasihan,” tambah Rukmini (39), seorang janda. Plasma yang macet memperpanjang ketimpangan gender beban hidup naik, akses manfaat tetap minim.

Bagi buruh kebun, sawit bukan kemajuan, melainkan ketergantungan.

“Saya bekerja di tanah keluarga sendiri. Sekarang dibayar harian untuk merawat pohon yang bukan milik saya,” kata Andi (32).

“Sawit ini kelihatan rapi. Tapi hidup kami berantakan. Anak kami mewarisi apa—sawit atau utang harapan?” sambung Slamet (45). Tanpa plasma, relasi tetap timpang; ketergantungan menggantikan kemitraan.

Realisasi FPKM 32 hektare di Dusun Ibul Lume disebut sebagai sinyal perubahan. Namun ingatan kolektif warga masih menyimpan catatan lama: alat berat datang tanpa sosialisasi, kompensasi tertunda, dan janji kerja yang tak sejalan dengan realitas.

“Sawit boleh datang, tapi keadilan jangan ditinggalkan,” ujar seorang tokoh adat Kundi.

Di lahan sawit BPL, kasus pencurian buah berujung tindakan keras aparat dan korban jiwa. Peristiwa ini menegaskan bahwa konflik agraria bukan sekadar pasal dan izin, melainkan kehilangan ruang hidup yang mendorong manusia ke batas paling rapuh.

Surat 1995 tersimpan rapi, kepatuhan absen. Janji dicatat, implementasi nihil. Laba dihitung, luka dilupakan. Negara menulis keadilan, tetapi menegakkannya setengah. Plasma dijadikan wacana, sanksi menjadi opsi, dan rakyat menjadi catatan kaki.

Yang seharusnya dilakukan negara tanpa basa-basi:

Menetapkan tenggat publik realisasi plasma 20 persen dan CSR.

Menjatuhkan sanksi administratif hingga pencabutan izin bagi yang ingkar.

Melakukan audit independen atas tumpang tindih HGU–IUP dan membuka transparansi kemitraan.

Mewujudkan skema plasma yang inklusif gender serta perlindungan buruh.

Menyelesaikan konflik berbasis hak, bukan sekadar prosedur.

Selama negara tetap lunak pada pelanggaran dan tegas pada rakyat, kebijakan plasma akan terus menjadi satire resmi ditulis negara, disalahartikan perkebunan, dan dibayar mahal oleh warga Bangka Barat.