Penulis : Raihan Dzaky Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang – Bangka hari ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah pulau bisa berubah begitu cepat ketika izin tambang dikeluarkan tanpa perhitungan matang. Setiap IUP (Izin Usaha Pertambangan) baru yang terbit seolah memotong sedikit demi sedikit ruang hidup warga. Pemerintah selalu membawa narasi “demi peningkatan ekonomi”, tetapi warga justru merasakan dampak yang berlawanan.
Padahal, aturan sebenarnya sudah jelas. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba mewajibkan perusahaan memenuhi AMDAL, reklamasi, hingga perlindungan lingkungan. Namun di lapangan, praktiknya jauh dari teori. Banyak izin diterbitkan tanpa transparansi, minim sosialisasi, dan bahkan tumpang tindih. Masyarakat sering baru mengetahui ada tambang setelah alat berat masuk, bukan saat proses izin berlangsung. Ini bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampaknya terasa di semua sisi. Di laut, kapal isap dan ponton membuat air keruh dan memaksa ikan menjauh. Nelayan kehilangan wilayah tangkap yang selama ini menjadi sumber hidup keluarga. Padahal, UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa wilayah pesisir harus dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tetapi ketika tambang laut beroperasi, aturan itu seperti tidak punya daya. Di darat, lubang-lubang tambang berubah menjadi kolong yang menganga tanpa kejelasan reklamasi. Tanah sulit lagi digarap, air sumur warga mulai tercemar, dan beberapa desa kini bergantung pada air bersih yang dibeli. Kewajiban reklamasi yang tertulis jelas di UU Minerba seringkali hanya berhenti pada kewajiban, tanpa benar-benar dijalankan.
Konflik sosial juga tidak bisa dihindari. Sebagian warga menggantungkan hidup pada tambang karena kebutuhan ekonomi, sementara yang lain justru kehilangan mata pencaharian akibat rusaknya lingkungan. Ketimpangan ini memicu gesekan dan merusak kohesi sosial desa-desa di Bangka. Jika ditanya siapa yang paling diuntungkan dari izin tambang yang begitu longgar, jawabannya jelas bukan masyarakat. Pendapatan jangka pendek yang diterima daerah tidak sebanding dengan kerusakan yang harus ditanggung puluhan tahun ke depan. Ruang hidup yang hilang tidak bisa dibeli kembali.
Bangka memiliki potensi besar di luar tambang: perikanan, pariwisata, pertanian, hingga industri kreatif. Namun semua itu sulit berkembang jika tanahnya rusak, lautnya tercemar, dan masyarakatnya terus berada dalam konflik.
Bangka tidak boleh selamanya menjadi pulau yang membayar harga paling mahal demi keuntungan tambang yang hanya dirasakan segelintir orang. Sudah saatnya izin tambang dievaluasi bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi dari masa depan ruang hidup masyarakat. (Red)








