Gerakan Ayah Mengambil Rapor: Apakah Semua Anak Masih Memiliki Ayah untuk Digandeng?

Opini26 views
Advertisements
Advertisements

Oleh: Mung Harsanto

Detikbabel.com (Opini) – Gerakan Ayah Mengambil Rapor yang digagas pemerintah daerah bersama satuan pendidikan kerap dipuji sebagai terobosan progresif. Program ini dimaksudkan untuk menguatkan peran ayah dalam pendidikan, menghadirkan figur bapak sebagai saksi tumbuh kembang akademik anak. Di atas kertas, gagasan ini tampak hangat dan sarat nilai keluarga. Namun di balik slogan yang terdengar heroik itu, ada lorong sunyi yang nyaris luput dari perhatian: anak-anak yang tidak lagi memiliki ayah.

Di ruang kelas yang dipenuhi langkah kaki para bapak, ada bangku-bangku yang menyimpan kehampaan. Anak yatim, anak dari keluarga retak, atau mereka yang ayahnya tercerabut oleh jarak, konflik, dan kematian, terpaksa menyaksikan ritual kolektif itu dari pinggir perasaan. Rapor yang seharusnya menjadi lembar evaluasi berubah menjadi cermin yang memantulkan kehilangan. Negara seakan lupa bahwa tidak semua anak lahir dan tumbuh dalam komposisi keluarga yang utuh.

Kebijakan publik, sejatinya, tidak hanya soal niat baik, tetapi juga tentang kepekaan. Program ini terasa condong pada simbolisme—menghadirkan ayah sebagai ikon—tanpa kalkulasi psikologis yang matang. Apakah pemerintah pernah mengukur beban batin anak yang harus menjawab pertanyaan teman sekelasnya, “Ayahmu tidak datang?” Luka semacam ini tidak berdarah, tetapi mengiris perlahan.

Psikolog anak kerap menegaskan bahwa pengalaman eksklusi sosial, terutama di usia sekolah, dapat menanamkan rasa rendah diri dan duka berkepanjangan. Ketika sekolah menjadi panggung seremoni, anak tanpa ayah diposisikan sebagai penonton yang terasing. Empati berubah menjadi barang langka, kalah oleh gegap gempita dokumentasi dan unggahan media sosial.

Di sinilah letak paradoks kebijakan ini. Negara ingin merawat kehadiran ayah, tetapi abai merawat perasaan anak yang ditinggalkan. Seharusnya ada alternatif yang lentur: wali pengganti, figur keluarga lain, atau pendekatan yang tidak mengunci makna rapor pada satu sosok. Tanpa itu, gerakan ini berpotensi menjadi monumen kebijakan yang dingin—indah dipandang, getir dirasakan.

Pertanyaannya sederhana namun mendasar: apakah pemerintah siap mendengar suara anak-anak yang tak punya ayah untuk digandeng, atau mereka akan terus dibiarkan menyimpan kesedihan di balik rapor yang terlipat rapi? (Red/*)


PROFIL:
MUNG HARSANTO, S.E.
(Wartawan dengan nomor UKW No.91748-UPNYK/Wda/DP/VI/2024 dari DEWAN PERS)
– Kepala Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO BABEL) : www.kbobabel.com
– Wakil Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Bangka Belitung 
– Sekjen Konsorsium Tim Sembilan Jejak Kasus (T9JK) / (Nomor AHU-0001417.AH.01.07.TAHUN2025)
– Pemimpin Redaksi media : www.lawangpos.com
– Koordinator Liputan media : www.babeltoday.com
– Managing Editor media : www.detikbabel.com, www.jurnalsiber.com, www.pangkalpinangpost.com, dll…