DETIKBABEL.COM, Medan — Gelombang kegelisahan dunia kedokteran kembali mencuat ke permukaan. Kali ini datang melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Selasa (25/11/2025)
Surat tersebut ditandatangani *Dr. Rizky Adriansyah, SpA, SubspKardio*, seorang dokter spesialis jantung anak, yang menyuarakan penolakan terhadap dugaan kriminalisasi profesi dokter dalam kasus yang menimpa *dr. Ratna Setia Asih SpA*, dokter spesialis anak yang berpraktik di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam surat terbuka setebal beberapa halaman itu, Dr. Rizky menyebut bahwa penetapan tersangka terhadap dr. Ratna merupakan *“lonceng bahaya”** bagi masa depan pelayanan kesehatan di Indonesia.
Ia menilai kasus itu mencerminkan rapuhnya perlindungan hukum bagi tenaga medis, sekaligus memperlihatkan lemahnya posisi Kementerian Kesehatan dalam melindungi dokter dari proses hukum yang tidak proporsional.
Menurutnya, rekomendasi *Majelis Disiplin Profesi (MDP)* yang menjadi dasar penetapan tersangka terhadap dr. Ratna justru menjadi persoalan besar.
Alih-alih menjadi wadah penegakan disiplin profesi, MDP dinilai berubah menjadi lembaga yang dapat “mengirim dokter ke ruang tahanan” tanpa terlebih dahulu melalui sidang disiplin yang seharusnya menjamin hak dokter dan pasien.
“Ketika rekomendasi MDP dijadikan *stempel pidana* oleh penegak hukum, lalu Kemenkes tidak melakukan koreksi, maka negara telah membiarkan, bahkan ikut mendorong kriminalisasi profesi dokter,” tulis Dr. Rizky.
Ia menegaskan, dalam sistem hukum yang sehat, harus ada batas tegas antara risiko medis, komplikasi, pelanggaran etik atau disiplin, dan tindakan pidana.
Namun batas itu menjadi kabur ketika rekomendasi MDP—yang seharusnya bukan untuk pidana—dijadikan landasan utama proses penyidikan.
Situasi tersebut, kata Dr. Rizky, membuat dokter bekerja dalam kondisi penuh ketakutan. Dokter dapat menjadi tersangka kapan saja, meski telah bekerja sesuai standar, dan bahkan ketika ketidakhadiran karena sakit dijadikan alasan pemidanaan.
“Jika seorang dokter spesialis anak bisa ditetapkan tersangka hanya bermodal rekomendasi MDP tanpa analisis medis forensik yang ketat, maka runtuhlah rasa aman seluruh dokter Indonesia,” kritiknya.
Dalam surat tersebut, Dr. Rizky meminta Presiden Prabowo tidak hanya berpegang pada retorika “menghormati proses hukum”, terutama jika proses itu sendiri cacat prosedural.
Ia mendesak Presiden memerintahkan Menteri Kesehatan untuk menertibkan MDP serta memastikan rekomendasi etik dan disiplin tidak boleh otomatis berubah menjadi dasar pemidanaan.
Selain itu, ia meminta agar aparat penegak hukum wajib melibatkan ahli kedokteran yang independen dalam setiap perkara medis, serta memberikan ruang yang luas bagi organisasi profesi untuk mendampingi dan membela anggotanya.
Dr. Rizky juga mengingatkan bahwa kriminalisasi dokter akan menimbulkan efek domino yang berbahaya. Dokter akan menjadi lebih defensif, menghindari kasus berisiko, hingga merujuk secara berlebihan demi menghindari jerat hukum. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah pasien.
“Ketika dokter tak lagi percaya bahwa negara melindungi mereka, sangat sulit mengharapkan mereka tetap berani mengambil keputusan klinis yang sulit demi menyelamatkan nyawa pasien,” ujarnya.
Di akhir suratnya, Dr. Rizky memohon Presiden Prabowo untuk turun tangan dan mengoreksi sikap Kementerian Kesehatan dalam menangani kasus dr. Ratna Setia Asih.
Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap tenaga medis bukan hanya persoalan profesi, tetapi menyangkut amanah konstitusi dalam melindungi hak-hak warga negara.
“Selamatkan nalar keadilan dalam kasus ini. Lindungi tenaga medis yang telah bekerja sesuai standar,” tutupnya.
Surat terbuka tersebut ditandatangani di Medan pada *25 November 2025*, dan kini menjadi sorotan publik terutama di kalangan tenaga kesehatan yang menilai kasus dr. Ratna sebagai preseden berbahaya bagi masa depan pelayanan kesehatan Indonesia. (KBO Babel)












