Penulis Opini: Aliya Hasnita (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)
Detikbabel.com|Bangka Belitung – Peradilan agama di Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar: angka perceraian yang terus meningkat, kompleksitas perkara waris, dan ketimpangan akses keadilan berbasis gender.
Di tengah dinamika ini, Mahkamah Agung mendorong sistem peradilan digital (e-court dan e-litigation) sebagai terobosan untuk mempercepat proses hukum dan memangkas birokrasi. Namun, pertanyaannya: apakah inovasi ini benar-benar menjadi solusi atau justru menciptakan hambatan baru?
Pada awalnya, sistem digital dalam peradilan agama diharapkan bisa memangkas waktu sidang, mempercepat pelayanan administrasi, dan memberi kemudahan bagi para pencari keadilan, khususnya di tengah pandemi dan pasca-pandemi.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna layanan peradilan agama, terutama perempuan dari kalangan bawah, mengalami kesulitan dalam mengakses sistem ini. Minimnya literasi digital dan infrastruktur yang tidak merata membuat sistem ini belum inklusif.
Lebih dari itu, perkara-perkara sensitif seperti cerai gugat, hak asuh anak, dan pembagian harta sering kali membutuhkan pendekatan yang empatik dan mediasi yang manusiawi. Proses digital yang kaku dan terlalu teknis justru dapat mengabaikan aspek sosial-psikologis yang sangat penting dalam penyelesaian perkara rumah tangga.
Di sinilah hukum acara peradilan agama harus lebih dari sekadar aturan; ia harus hadir sebagai jembatan yang mendekatkan keadilan, bukan sekadar mempercepat putusan.
Ironisnya, modernisasi peradilan belum sepenuhnya dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tidak semua hakim dan aparatur peradilan siap secara teknis dan emosional untuk menangani perkara secara daring.
Akibatnya, beberapa perkara tertunda, keliru, atau bahkan tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak yang lemah, khususnya perempuan dan anak.
Tahun 2025 ini harus menjadi momentum evaluasi besar. Digitalisasi memang tak bisa dihindari, tetapi harus dijalankan secara inklusif, adaptif, dan berkeadilan sosial.
Perlu pelatihan masif bagi pengguna layanan hukum, pendampingan hukum gratis berbasis desa atau komunitas, dan pembenahan infrastruktur teknologi yang adil antarwilayah. Selain itu, penyederhanaan hukum acara peradilan agama harus dilakukan tanpa menghilangkan nilai-nilai perlindungan terhadap hak asasi dan martabat manusia.
Peradilan agama harus bertransformasi bukan hanya secara teknologi, tetapi secara visi yaitu menjadi institusi yang tidak hanya cepat dan modern, tapi juga adil, empatik, dan berpihak pada yang paling rentan. Karena dalam perkara rumah tangga, keadilan bukan sekadar vonis, tetapi juga harapan akan masa depan yang lebih bermartabat. (Red/*)