Dana Hibah, Demokrasi, dan Keberanian Hukum: Mengapa KPU dan Bawaslu Tak Pernah Tersentuh?

Advertisements
Advertisements

Oleh: Adinda Putri Nabiilah

DETIKBABEL.COM, Bangka Belitung – Penegakan hukum selalu diuji bukan pada perkara yang mudah, melainkan pada perkara yang beririsan langsung dengan kekuasaan. Dalam konteks Bangka Belitung hari ini, publik patut bertanya: **apakah hukum benar-benar ditegakkan untuk keadilan, atau sekadar dijalankan sejauh tidak mengganggu kepentingan politik?**

Langkah serentak sejumlah Kejaksaan Negeri yang mengintensifkan pemeriksaan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) memang dapat dibaca sebagai upaya membersihkan tata kelola keuangan daerah. Namun, ketika langkah itu berdiri sendiri—tanpa diikuti keberanian menyentuh sektor lain yang sama-sama menyedot dana APBD—maka yang muncul bukan rasa keadilan, melainkan kecurigaan.

Kecurigaan publik menjadi semakin sahih ketika dana hibah lain, terutama yang bersentuhan langsung dengan kekuasaan politik, seperti **KPU, Bawaslu, dan bantuan keuangan partai politik**, justru nyaris tak pernah terdengar diperiksa secara terbuka.

 

Dana Hibah: Bukan Milik KONI Semata

Secara hukum, dana hibah merupakan bagian dari keuangan negara/daerah. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk APBD, berada dalam rezim hukum publik. Artinya, **setiap rupiah dana hibah, siapa pun penerimanya, tunduk pada prinsip akuntabilitas dan pengawasan hukum.**

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah juga secara eksplisit mengatur bahwa hibah diberikan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa lembaga tertentu lebih kebal dari pemeriksaan hukum dibanding lembaga lain.

Jika Kejaksaan beralasan bahwa KONI rawan penyimpangan karena pengelolaan dana dan aktivitasnya, maka **logika hukum yang sama seharusnya diterapkan kepada semua penerima hibah**, termasuk lembaga penyelenggara pemilu yang mengelola anggaran jauh lebih besar.

 

KPU dan Bawaslu: Dana Besar, Partisipasi Rendah

Pilkada terakhir di Bangka Belitung menyedot anggaran puluhan miliar rupiah. KPU dan Bawaslu mendapatkan dana hibah APBD dalam jumlah signifikan, khususnya untuk tahapan sosialisasi, pendidikan pemilih, logistik, dan pengawasan.

Namun fakta yang tak terbantahkan, **tingkat partisipasi pemilih berada di bawah 55 persen**. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan indikator kualitas demokrasi. Pertanyaan yang wajar kemudian muncul: **ke mana efektivitas anggaran sosialisasi yang begitu besar itu mengalir?**

Rendahnya partisipasi memang tidak serta-merta berarti pelanggaran hukum. Tetapi dalam negara hukum, **audit dan pemeriksaan bukanlah tuduhan, melainkan mekanisme kontrol**. Justru di sinilah peran Kejaksaan seharusnya hadir—bukan untuk mengkriminalisasi, tetapi untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan, pemborosan, atau bahkan penyelewengan dana publik.

Ironisnya, hingga kini nyaris tak terdengar langkah progresif Kejaksaan dalam memeriksa dana hibah KPU dan Bawaslu secara terbuka. Diamnya penegak hukum di sektor ini memunculkan kesan kuat bahwa ada wilayah-wilayah yang dianggap “terlarang” untuk disentuh.

 

Parpol dan Kekuasaan: Zona Nyaman Penegakan Hukum?

Lebih sensitif lagi adalah soal bantuan keuangan partai politik. Dana ini sah secara hukum, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Namun sah bukan berarti bebas dari pengawasan.

Partai politik adalah pilar demokrasi, tetapi juga aktor kekuasaan. Ketika Kejaksaan tidak berani menyentuh dana hibah parpol, publik wajar bertanya: **apakah hukum sedang menjaga demokrasi, atau justru tunduk pada kompromi politik?**

Penegakan hukum yang hanya menyasar organisasi non-politik seperti KONI, sementara lembaga politik dan penyelenggara pemilu dibiarkan nyaman, menciptakan ketimpangan serius dalam keadilan. Ini bukan lagi soal hukum teknis, tetapi soal **keberanian moral aparat penegak hukum**.

 

Hukum yang Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas” bukan retorika kosong. Ia lahir dari pengalaman kolektif masyarakat yang berulang kali menyaksikan hukum bekerja selektif. Ketika lembaga yang tidak memiliki kekuatan politik diperiksa secara masif, sementara lembaga yang beririsan dengan kekuasaan dibiarkan sunyi, maka kepercayaan publik perlahan runtuh.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum. Prinsip ini tidak mengenal pengecualian atas nama stabilitas politik, kenyamanan institusi, atau kekhawatiran konflik kepentingan.

Jika Kejaksaan ingin menjaga marwahnya sebagai institusi penegak hukum, maka **keadilan harus ditegakkan secara simetris**: sama kerasnya kepada yang lemah, dan sama beraninya kepada yang kuat.

 

Penutup: Keberanian yang Ditunggu Publik

Kritik ALMASTER Babel sejatinya adalah cermin bagi Kejaksaan. Ini bukan upaya melemahkan institusi, melainkan dorongan agar hukum tidak kehilangan rohnya. Penegakan hukum yang setengah-setengah justru lebih berbahaya daripada tidak menindak sama sekali, karena melahirkan ilusi keadilan.

Publik Bangka Belitung tidak menuntut sensasi, apalagi kriminalisasi. Yang dituntut sederhana: **keadilan yang konsisten dan keberanian yang setara**. Jika dana hibah KONI diperiksa, maka dana hibah KPU, Bawaslu, dan bantuan keuangan partai politik pun harus dibuka dan diaudit dengan standar yang sama.

Di situlah hukum benar-benar hadir sebagai panglima. Bukan pelayan kekuasaan, melainkan penjaga keadilan. (*)

 

—————————————

Penulis : Adinda Putri Nabiilah, S.H.,C.IJ., C.PW. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH UNSRI) Tahun 2023 saat ini menjadi Editor di Jejaring Media KBO Babel, Magang Advokat di Kantor Hukum J.A. Ferdian & Panthership.

 

Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004