Detikbabel.com, Pangkalpinang —
Edi Irawan resmi melaporkan RSUD Sjafrie Rachman atas dugaan maladministrasi pelayanan publik. Persoalan ini bermula dari dugaan penolakan penggunaan ambulans rumah sakit, yang kemudian berkembang menjadi polemik mengenai keterbukaan informasi publik. Selasa (28/10/2025).
Pada hari Senin, Edi Irawan bersama saksi, Julianto—yang turut hadir saat penolakan ambulans terjadi—dan Mung dari media, mendatangi RSUD Sjafrie Rachman di Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka. Tujuannya untuk memperoleh penjelasan resmi dari pihak rumah sakit terkait dasar hukum prosedur yang mengatur penggunaan ambulans tersebut.
Namun, menurut Edi, jawaban yang diterimanya tidak memenuhi aspek moral pelayanan publik.
“Jawaban pihak rumah sakit benar-benar tak mengandung nilai moral yang dapat dipelajari. Karena pasien dianggap tidak apa-apa maka tidak ada rujukan. Oleh karena tidak ada rujukan, maka mobil ambulans tidak dapat digunakan. Astaga. Setengah migrain rasa mendengarnya,” ucap Edi saat memberikan keterangan kepada awak media.
Edi juga menyebut bahwa pasien akhirnya dapat diantar pulang menggunakan ambulans RSUD Depati Bahrin Sungailiat.
“Saya bingung, apakah seperti itu bedanya SOP RSUD Sjafrie Rachman dengan RSUD Depati Bahrin? Sekalipun SOP-nya demikian, apakah kita akan memperlakukan hal yang sama jika hal itu menimpa keluarga kita? Terlebih kami hanya diberikan beberapa lembar surat keputusan yang ditandatangani direktur RSUD Sjafrie Rachman, serta satu berkas lain yang belum sempat kami baca,” tuturnya.
Pertemuan antara pihak Edi dan RSUD berlangsung sekitar satu jam. Edi menuturkan bahwa pihaknya tidak diperkenankan membawa salinan dokumen SOP yang ditunjukkan oleh pihak rumah sakit.
“Kami dilarang membawa pulang salinan SOP tentang ambulans dan satu berkas lainnya. Dengan tegas direktur RSUD Sjafrie Rachman menyatakan bahwa dokumen tersebut tidak boleh dibuka untuk umum. Saya pun membuat catatan yang disaksikan beberapa pihak dari RSUD, lalu mengakhiri pertemuan karena tidak ingin terlibat dalam perdebatan. Untuk hal sederhana seperti SOP saja, mereka belum memahami bahwa itu merupakan hak publik,” ujarnya tajam.
Ia juga mengeluhkan sulitnya mengakses pelayanan informasi publik di rumah sakit tersebut.
“Minta kepada direktur tidak dikasih, minta di bagian pelayanan katanya lewat kontak WhatsApp admin saja. Sudah saya kirim pesan ke admin, tapi sampai malam tidak dibalas. Ini apa kerja bagian pelayanan yang pegang kontak WhatsApp itu?” tambahnya.
Hari ini, Edi Irawan resmi melaporkan dugaan maladministrasi berupa tidak diberikannya formulir permohonan informasi publik.
Langkah Edi dinilai banyak pihak sebagai bentuk nyata keberanian warga dalam menegakkan hak-hak publik sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Sikap kritis Edi menjadi cerminan bahwa seorang individu pun dapat menuntut transparansi dan akuntabilitas lembaga publik.
Edi, yang dikenal sebagai aktivis muda, memberikan contoh nyata bagaimana hukum sebagai produk politik dapat menjadi pelindung martabat setiap warga negara tanpa memandang status sosial.
Peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi banyak pihak: bahwa kepatuhan terhadap mekanisme pelayanan publik adalah bentuk penghormatan terhadap hak masyarakat dan integritas lembaga negara. (Red/*)










