DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang — Pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini kerap dipahami sebatas isu demokrasi, kebebasan sipil, serta perlindungan terhadap warga negara dalam situasi damai. Namun perspektif itu berubah total ketika mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) melakukan kunjungan kuliah pengganti dalam rangka case method ke markas Polisi Militer Denpom II/5 Bangka. Bagi mahasiswa kelompok 1 kelas 5C mata kuliah Hukum Humaniter, kunjungan ini membuka mata bahwa ujian paling berat bagi HAM justru muncul saat negara berada di tengah operasi militer. Kamis (27/11/2025).
Kegiatan yang dipusatkan di Aula Madenpom II/5 Bangka ini merupakan bagian dari pembelajaran berbasis kasus yang dirancang untuk memberikan pemahaman nyata tentang penerapan hukum humaniter.
Acara dibuka oleh Wadandenpom karena Dandenpom berhalangan hadir. Setelah itu, paparan inti disampaikan oleh Letnan Dua Cpm Zulkarnaini, dan kegiatan turut didampingi oleh dosen pengampu, Sintong Arion Hutapea, S.H., M.H.
Dalam penjelasannya, Letda Zulkarnaini menegaskan bahwa peperangan bukan zona kelabu tanpa aturan. Konvensi Jenewa 1949 beserta prinsip-prinsip hukum humaniter internasional menetapkan batas tegas yang wajib ditaati oleh seluruh pihak yang bertikai.
Ia menekankan, musuh yang menyerah harus diperlakukan secara manusiawi, fasilitas kesehatan harus dilindungi, warga sipil tak boleh dijadikan sasaran, dan martabat para tawanan perang wajib dijaga. “Kekerasan dalam perang tidak bebas nilai. Ada pagar hukum dan kemanusiaan yang tidak boleh dilanggar,” ujarnya.
Isu perlindungan warga sipil menjadi salah satu pembahasan paling mendalam. Dalam hukum humaniter, warga sipil harus diamankan sejak sebelum pertempuran dimulai.
Kesalahan sasaran tidak bisa disebut collateral damage bila operasi tidak dirancang sesuai aturan hukum perang.
Menurutnya, collateral damage hanya dapat dibicarakan jika seluruh langkah pencegahan korban sipil telah dilakukan secara maksimal. Tanpa itu, jatuhnya korban sipil menjadi bentuk pelanggaran hukum.
Diskusi kemudian menyinggung konteks nasional, termasuk dinamika keamanan di Papua. Letda Zulkarnaini menjelaskan bahwa karena negara tidak menetapkan status operasi militer, maka kerangka hukum yang berlaku bukanlah hukum perang, melainkan hukum pidana dan HAM.
Dengan demikian, tindakan aparat pada warga sipil tidak dapat dinilai dengan logika konflik bersenjata, tetapi tetap tunduk pada standar HAM yang ketat dan mekanisme pertanggungjawaban pidana.
Bagian diskusi yang paling sensitif adalah pembahasan mengenai akuntabilitas militer. Meski prajurit TNI tunduk pada KUHP dan KUHAP, proses peradilannya mengikuti yurisdiksi peradilan militer.
Letda Zulkarnaini mengakui adanya tantangan struktural seperti keterbatasan auditor militer, tetapi menegaskan bahwa hal itu tidak boleh menghalangi penegakan hukum.
“Penegakan hukum bukan ancaman bagi kehormatan militer, tapi justru fondasi yang memastikan militermu tetap bermartabat,” tegasnya.
Kunjungan ini menjadi penutup rangkaian pembelajaran mata kuliah HAM selama satu semester. Setelah mempelajari teori HAM dan hukum humaniter di kelas, mahasiswa akhirnya dapat melihat langsung bagaimana aparat militer menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi nyata.
Pembelajaran yang semula bersifat konseptual berubah menjadi pemahaman konkret tentang bagaimana hukum bekerja ketika negara berada dalam situasi ekstrem.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa diingatkan bahwa pembahasan HAM tidak boleh berhenti di ruang kuliah. Di tengah perkembangan persenjataan modern dan eskalasi geopolitik global, ukuran kekuatan negara bukan hanya pada kemampuan memenangkan perang, tetapi pada kemampuannya menjaga martabat manusia — bahkan saat peluru ditembakkan.
(Redaksi)










