PANGKALPINANG — Sengketa hubungan industrial antara Gerson Pingak dengan PT Bangka Jaya Line (BJL) kini resmi masuk ke ranah hukum. Persidangan perdana dengan nomor perkara 14/Pdt.Sus-PHI/2025/PN/PGP digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang, Selasa (9/9/2025).
Baik penggugat maupun tergugat hadir secara langsung, bersama empat orang saksi yang dihadirkan untuk memperkuat argumentasi masing-masing pihak.
Dalam gugatannya, Gerson menuntut pesangon senilai Rp124 juta sekaligus meminta agar ia dipekerjakan kembali oleh PT BJL.
Ia mengklaim dirinya adalah karyawan perusahaan tersebut yang diberhentikan secara sepihak tanpa diberikan hak sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Namun, klaim tersebut langsung dibantah keras oleh pihak tergugat. Kuasa hukum PT BJL, Nora Zema, S.H., dari Kantor Hukum BARAK, menegaskan bahwa Gerson tidak pernah tercatat sebagai karyawan resmi di perusahaan kliennya.
“Pemohon tiba-tiba mengajukan tuntutan pesangon, padahal nama yang bersangkutan tidak pernah ada dalam daftar karyawan BJL. Silakan buktikan dulu statusnya sebagai pekerja tetap,” ujar Nora dalam persidangan.
Pokok Sengketa: Status Karyawan
Persoalan utama dalam perkara ini adalah status hubungan kerja antara Gerson dengan PT BJL. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja hanya dapat diakui apabila terdapat perjanjian kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Menurut kuasa hukum PT BJL, perusahaan sama sekali tidak memiliki armada angkutan sendiri maupun sopir sebagai karyawan tetap.
Selama ini, PT BJL hanya bekerja sama dengan pemilik mobil pribadi yang bertindak sebagai mitra dalam kegiatan pengiriman barang.
Para sopir, termasuk Gerson, bekerja di bawah sistem bagi hasil dengan pemilik kendaraan, yakni 40 persen untuk sopir dan 60 persen untuk pemilik kendaraan, dari tarif dasar pengiriman kontainer.
“BJL tidak pernah mengangkat sopir sebagai karyawan tetap. Semua armada adalah milik mitra perorangan, bukan perusahaan. Jadi klaim hubungan kerja dengan klien kami jelas keliru,” tegas Nora.
Dugaan Entitas Fiktif
Di sisi lain, Gerson tetap pada pendiriannya. Ia menyebut dirinya direkrut oleh seorang bernama Indra, yang diketahui sebagai mantan satpam PT BJL.
Indra mengaku sebagai pemilik sebuah entitas bernama Trans Bangka Jaya Line (TBJL), yang diduga fiktif.
Kerancuan inilah yang kemudian menimbulkan polemik mengenai status kerja Gerson.
Dalam persidangan, majelis hakim menyoroti pentingnya bukti administratif. Hingga sidang berjalan, Gerson belum mampu menunjukkan dokumen resmi seperti perjanjian kerja, slip gaji, ataupun bukti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang mengaitkan dirinya secara langsung dengan PT BJL.
“Kalau tidak ada bukti administratif, maka sulit membuktikan bahwa hubungan kerja benar-benar terjadi antara penggugat dengan PT BJL,” ungkap salah seorang praktisi hukum ketenagakerjaan yang hadir memantau jalannya sidang.
Hak Pekerja dan Beban Pembuktian
Sesuai Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, pekerja yang diberhentikan berhak atas pesangon apabila hubungan kerjanya sah.
Namun, beban pembuktian ada di pihak penggugat. Majelis hakim dalam kasus ini akan menilai keterangan saksi, termasuk dari pemilik armada dan sopir mitra, guna memastikan apakah klaim Gerson memiliki dasar hukum atau hanya sebatas dugaan sepihak.
Perkara ini dinilai menarik perhatian publik karena menyangkut dua sisi yang sama-sama penting: perlindungan hak pekerja dan kepastian hukum bagi perusahaan.
Jika gugatan Gerson terbukti, maka hal itu dapat menjadi preseden bagi sopir-sopir lain yang berada dalam situasi serupa.
Sebaliknya, jika terbukti tidak ada hubungan kerja, maka kasus ini akan mempertegas garis batas antara sistem kemitraan dan status karyawan tetap.
Sidang berikutnya dijadwalkan menghadirkan tambahan saksi dan bukti baru. Apakah Gerson akan mampu membuktikan klaimnya atau sebaliknya justru terbantahkan di hadapan hukum, semua kini bergantung pada proses persidangan yang sedang berlangsung di PN Pangkalpinang. (KBO Babel)