DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang – Kasus dugaan maladministrasi medis yang menjerat dr. Ratna Setia Asih, Sp.A., dokter spesialis anak RSUD Depati Hamzah, terus bergulir dengan dinamika baru yang mengejutkan publik. Istri dari Wahyu Seto Aji (46) ini disangkakan oleh Ditkrimsus Polda Kepulauan Bangka Belitung sebagai penyebab meninggalnya pasien anak bernama Aldo Ramadani (10) pada Desember 2024, dengan jeratan Pasal 440 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Jumat (15/8/2025).
Pasal tersebut mengatur sanksi pidana bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan yang lalai hingga menyebabkan luka berat atau kematian pasien. Namun di balik proses hukum yang berjalan, keluarga dr. Ratna mengaku sempat mendapat permintaan kompensasi fantastis dari pihak keluarga korban jika ingin menyelesaikan perkara secara damai.
Menurut pengakuan Wahyu Seto Aji, upaya jalan damai sebenarnya sudah diinisiasi pihaknya. Mereka telah berusaha menemui Yanto (45), ayah almarhum Aldo, bahkan sempat dimediasi oleh Andi Kusuma, pengacara keluarga pelapor. Namun dalam pertemuan tersebut, kata Wahyu, Yanto menyampaikan permintaan biaya kompensasi sebesar Rp 2,8 miliar.
“Permintaan itu disampaikan langsung oleh pak Yanto di rumah dan kantor bapak Andi Kusuma di Merawang. Kami diundang untuk membicarakan upaya damai, tapi kemudian disampaikan bahwa ada biaya kompensasi sebesar Rp 2,8 miliar sebagai tanggung jawab atas kematian anaknya,” ungkap Wahyu saat dihubungi jejaring media KBO Babel, Jumat (15/8/2025).
Rinciannya, permintaan kompensasi itu mencakup pembangunan masjid atas nama almarhum, biaya pendidikan adik-adik Aldo, serta kebutuhan lain yang dianggap sebagai bentuk tanggung jawab. Namun, beban tersebut sepenuhnya diarahkan kepada dr. Ratna seorang, tanpa melibatkan tujuh tenaga medis lain yang ikut menangani pasien maupun pihak manajemen RSUD Depati Hamzah.
“Istri saya belum tentu bersalah, tapi diminta membayar seolah-olah semua tanggung jawab ada di pundaknya,” tegas Wahyu.
Sebelumnya, menurut Wahyu, pihaknya telah memenuhi beberapa permintaan keluarga korban, termasuk meminta maaf secara langsung kepada keluarga dan berdoa di pusara makam Aldo. Saat itu, ia bahkan mendengar langsung pernyataan Yanto yang mengatakan tidak menginginkan kompensasi uang, asalkan para tenaga medis mau meminta maaf dan mendoakan anaknya.
Namun belakangan, situasi berubah. Wahyu mengaku pihaknya tetap beritikad baik dengan menawarkan dana kompensasi sebesar Rp 150 juta, meskipun itu tidak diwajibkan secara hukum. Tawaran itu ditolak.

Kuasa hukum dr. Ratna, Hangga Oftafandy, S.H., menilai permintaan kompensasi Rp 2,8 miliar tersebut tidak masuk akal.
“Angka itu terlalu besar dan justru terkesan seperti pemerasan,” kata Hangga.
Lebih lanjut, Hangga mengungkap pihaknya akan membuat laporan pengaduan terkait dugaan maladministrasi dalam proses pemeriksaan kasus ini. Ia menilai ada indikasi kesalahan prosedur administrasi yang bisa menjerat pihak terkait secara pidana jika terbukti.
Tak hanya itu, pihaknya juga mempertimbangkan melaporkan dugaan pemerasan oleh Yanto, ayah korban.
“Prinsipnya, kalau proses ini tidak bersih dan penuh intervensi, maka harus dibongkar sampai tuntas,” tegas Hangga.
Kasus ini pun menjadi sorotan, bukan hanya karena menyangkut nyawa seorang pasien anak, tetapi juga karena adanya aroma negosiasi damai yang diwarnai permintaan kompensasi fantastis. Di tengah proses hukum yang belum selesai, publik menunggu transparansi dan keadilan dalam penanganan perkara yang sensitif ini.
Bagi keluarga dr. Ratna, perkara ini bukan hanya tentang tuduhan pidana, tetapi juga soal menjaga kehormatan profesi dan integritas hukum. Mereka berharap proses hukum berjalan tanpa intervensi dan bebas dari kepentingan pribadi.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi jejaring media KBO Babel masih berupaya menghubungi Yanto dan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan klarifikasi. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari prinsip jurnalisme berimbang, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. (Mung Harsabto/KBO Babel)