Pilkada Pangkalpinang: Liga Utama Politik Lokal dan Simulakra Demokrasi

Oleh: Eddy Supriadi

DETIKBABEL.COM, Di tengah kelesuan kepercayaan publik terhadap proses politik lokal, Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang 2025 menjelma sebagai liga utama politik lokal—sebuah kompetisi yang menyatukan drama, taktik, emosi, dan manuver elit. Empat pasangan calon tampil bukan sekadar menyodorkan janji, tapi membawa skema permainan politik yang nyaris menyerupai dunia sepak bola profesional: lengkap dengan manajer strategi, sponsor utama dari partai besar, hingga pelatih mental untuk mengatur ekspresi saat debat publik.

Seperti klub elite, mereka memiliki support system dari segala lini: buzzer media sosial berperan sebagai suporter ultras, relawan TPS sebagai penjaga gawang, dan koordinator kecamatan sebagai playmaker lapangan tengah. Beberapa tim bahkan mengandalkan pemain naturalisasi—yakni tokoh luar yang berupaya tampil lokal dengan menghafal logat Melayu dalam tiga hari, cukup untuk menyapa, “ape kabar, kite bangun kampong ni,” sebelum kembali ke hotel berpendingin.

Tak ketinggalan, konsultan politik nasional juga diboyong, layaknya pelatih kelas Liga Champions yang diturunkan ke laga antar-kecamatan. Semua ini demi “tiga poin penuh” dari 400-an TPS, karena dalam kontestasi ini, gol ditentukan bukan oleh sepakan keras, tapi oleh bisikan tajam dan kadang, amplop tipis.

 

 

🔍 1. Perspektif Teoretis: Dari Weber, Schumpeter hingga Bourdieu

Secara teoritis, Pilkada ini menghidupkan apa yang disebut Max Weber sebagai perebutan legitimasi: karismatik, tradisional, dan legal-rasional. Pasangan Molen–Zeki mengandalkan kombinasi karisma dan jejak elektoral masa lalu—ibarat klub lawas yang ingin promosi kembali ke kasta tertinggi, walau masih menurunkan pemain yang sama dan strategi lawas.

Sementara Prof. Udin–Dessy tampil dengan narasi teknokratis dan legal-rasional, seperti tim akademi yang percaya pada statistik, riset kebijakan, dan efektivitas debat. Namun dalam dunia politik, sebagaimana di sepak bola, penguasaan bola belum tentu menghasilkan kemenangan, apalagi jika pemilih lebih menyukai aksi teatrikal dibanding data.

Pasangan independen Eka–Radmida justru menjadi simbol dari kritik Joseph Schumpeter, bahwa demokrasi tak selalu tentang gagasan terbaik, tapi tentang siapa yang mampu menjual diri dengan kemasan paling efektif. Mereka muncul sebagai “klub rakyat” yang dibangun dari gotong royong, tanpa sponsor besar, tapi dengan semangat militan yang tak bisa dianggap enteng.

Pierre Bourdieu juga turut berbicara lewat teori modal-nya: dari modal simbolik (nama baik), modal sosial (jaringan), hingga modal kultural (kemampuan bicara dengan berbagai kelas sosial). Dan di Pilkada ini, semua modal itu dipertarungkan di lapangan bernama KPU, wasitnya Bawaslu, dan komentatornya rakyat di warung kopi.

 

 

🧭 2. Perspektif Sosiologis: Derby Kelas, Identitas, dan Emosi Lokal

Secara sosiologis, Pilkada ini seperti derby kelas sosial dan simbolik—antara elite dan rakyat, antara senioritas dan pembaruan, antara retorika metropolitan dan bahasa warung. Pemain lokal seperti Zeki, Prof. Saparudin, Eka, dan bahkan Basit (meski “naturalisasi”, tapi KTP dan aksennya sudah diterima masyarakat), hadir menjawab kerinduan terhadap pemimpin yang tidak hanya hadir saat musim kampanye, tetapi juga saat jalan rusak dan air PAM macet.

Pasar, masjid, grup WhatsApp RT, hingga arisan ibu-ibu kini jadi ruang diskusi dan tribun sorak. Di sinilah politik dibicarakan dengan logika keseharian: “Yang penting bukan yang pintar ngomong, tapi yang tahu harga cabe dan bisa bantu kalau minyak goreng hilang di pasar.

 

 

⚖️ 3. Perspektif Yuridis: Saat VAR Demokrasi Bekerja

Pilkada ulang ini sendiri adalah hasil dari mekanisme hukum yang berjalan, setelah sebelumnya kotak kosong menang telak—sebuah pertanda mekanisme demokrasi masih memiliki daya koreksi internal. Ibarat pertandingan ulang setelah gol offside disahkan oleh wasit, sistem kita—melalui Mahkamah dan penyelenggara pemilu—menunjukkan bahwa rakyat tetap punya kesempatan memilih ulang.

Namun, dalam praktik, prinsip yuridis sering ditabrak oleh pragmatisme politik. Potensi pelanggaran seperti politik uang, pelibatan ASN, atau manipulasi data pemilih masih menghantui. Bawaslu, sebagai wasit, acapkali terjebak antara meniup peluit atau diam demi “kenyamanan pertandingan”. VAR-nya demokrasi bekerja, tapi kadang sinyalnya buffering.

 

 

🧠 4. Perspektif Filosofis: Demokrasi sebagai Etika dan Gagasan

Demokrasi seharusnya menjadi ajang pertarungan gagasan, bukan sekadar kompetisi baliho dan buzzer. Dalam kacamata filsafat politik dari Jürgen Habermas, seharusnya Pilkada menjadi ruang deliberatif, di mana publik bisa menilai visi bukan hanya slogan, dan karakter bukan sekadar pencitraan.

Namun realitas politik lokal sering jatuh ke jurang simulakra demokrasi ala Jean Baudrillard—di mana “yang lama menyamar jadi baru”, dan “yang baru dinarasikan terlalu muda dan belum layak tampil”. Alih-alih dialog substansial, yang ramai justru parade kostum, yel-yel, dan TikTok berdurasi satu menit.

 

 

🧮 5. Perspektif Politis: Bursa Transfer dan Koalisi Sementara

Pilkada ini juga adalah bursa transfer elite lokal. Beberapa koalisi ibarat klub yang hanya bersatu menjelang laga, lalu bubar setelah pemilu—tanpa fondasi nilai bersama. Molen–Zeki menjadi simbol “pemain veteran” yang berharap nostalgia bisa jadi tiket promosi. Prof. Udin tampil sebagai “tim riset” yang penuh strategi, tapi harus berhadapan dengan kenyataan: tak semua pemilih membaca program.

Basit–Ustaz Dede tampil sebagai tim agresif yang bermain dari sayap kanan dan tengah—memainkan isu moral dan religiusitas. Sementara Eka–Radmida, seperti klub indie dengan semangat lokal, bisa jadi kuda hitam jika “voter diam” memutuskan untuk turun tangan.

Namun dalam politik, menang bukan berarti beres. Menang tanpa visi hanya menghasilkan pesta kemenangan yang membuat rakyat jadi penonton pasif di tribun pengangguran dan inflasi.

 

 

🎯 Penutup: Siapa yang Layak Mengangkat Trofi Demokrasi?

Pilkada Pangkalpinang adalah simbol demokrasi mikro Indonesia: penuh gairah, tapi juga ujian kedewasaan politik. Siapapun bisa menang. Tapi hanya yang punya visi jelas, pijakan kuat di rakyat, dan stamina moral, yang pantas mengangkat trofi rakyat.

Rakyat kini bukan lagi penonton pasif, tapi pemilik klub demokrasi. Kita berhak menentukan siapa yang turun sebagai starter, siapa yang cukup di bangku cadangan, dan siapa yang harus didegradasi ke liga nostalgia.

Jangan pilih karena jersey mewah. Pilihlah karena visi tajam, konsistensi lapangan, dan kemampuannya menjaga gawang rakyat dari kebobolan krisis.

Karena dalam demokrasi, yang paling penting bukan selebrasi di podium, tapi siapa yang tetap hadir saat stadion sepi, rumput kering, dan rakyat butuh pemain sejati—bukan politisi dadakan.

> “Politik bukan sekadar pertandingan keras, tapi ujian stamina moral. Dalam Pilkada, yang menang bukan yang paling banyak yel-yel, tapi yang paling siap bermain 90 menit penuh di hati rakyat.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *