DETIKBABEL.COM, BANGKA BARAT — Perairan Teluk Inggris, Mentok, kembali mencatatkan sejarah kelam penambangan ilegal yang diduga disokong oleh oknum aparat negara. Meski sempat ditertibkan oleh Polres Bangka Barat, aktivitas tambang timah ilegal di kawasan ini justru semakin menggila. Jum’at (4/7/2025)
Ratusan ponton kembali beroperasi tanpa hambatan, seolah hukum telah lumpuh total di wilayah ini.
Informasi yang diperoleh tim media mengungkap keterlibatan dua institusi aparat negara—oknum dari TNI AL dan Satpolair—yang disebut-sebut “membina” operasi tambang ilegal tersebut.
Salah satu oknum TNI AL berinisial AS bahkan diduga menjadi koordinator lapangan dan menggunakan sandi internal “ALFA” dalam komunikasi di lapangan.
Bersama dengan sejumlah oknum kepolisian dari Satpolair, mereka diduga mengatur pungutan uang keamanan dari para pemilik ponton.
Setiap ponton dipungut Rp 600 ribu, terdiri dari Rp 300 ribu untuk oknum TNI AL dan Rp 300 ribu untuk oknum polisi.
Dengan estimasi 200 ponton aktif, maka total pungutan harian bisa mencapai Rp 120 juta. Dana ini mengalir bukan ke kas negara, melainkan ke kantong pribadi oknum aparat.
Di balik layar, sejumlah nama seperti Ajang Mentok terafiliasi dengan perusahaan tambang PT MSP (Mitra Stania Prima) milik Jejaring bisnis RI 1 Hasyim Djojohadikusumo, dan Menkiong disebut sebagai aktor kunci jaringan tambang ilegal ini.
Ajang diduga sebagai penampung hasil tambang yang selanjutnya disetorkan ke smelter PT MSP di Kawasan Industri Jelitik, Sungailiat. Sementara Menkiong diduga sebagai penghubung antara bos tambang dan oknum aparat.
Masyarakat setempat hanya menjadi penonton dalam perampokan sumber daya alam ini. Janji bahwa 30% hasil tambang akan dibagikan ke masyarakat ternyata hanya omong kosong.
Alih-alih sejahtera, warga justru harus menghadapi kerusakan ekosistem laut, pencemaran, dan konflik sosial akibat ketimpangan pengelolaan sumber daya.
Pelanggaran Berat terhadap UU dan Pengkhianatan Amanat Presiden
Keterlibatan oknum TNI dalam tambang ilegal jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 39 yang melarang prajurit TNI terlibat dalam bisnis, apalagi ilegal.
Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi pengkhianatan terhadap sumpah prajurit dan pengkhianatan terhadap negara.
Lebih dari itu, kegiatan tambang ilegal tanpa izin resmi juga melanggar UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Pasal 158 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda Rp 100 miliar.
Dalam konteks kepemimpinan nasional, Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan komitmennya dalam memberantas praktik ilegal, termasuk mafia tambang.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden menyampaikan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada kedaulatan rakyat, keberlanjutan lingkungan, dan supremasi hukum.
Namun apa yang terjadi di Teluk Inggris justru mencoreng amanat tersebut. Oknum aparat, yang seharusnya menjaga hukum dan melindungi negara, justru menjadi bagian dari jaringan ilegal yang merusak bangsa.
Mereka bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Desakan Transparansi dan Tindakan Tegas
Sudah saatnya pimpinan TNI dan Polri bertindak cepat dan tegas. Keterlibatan oknum aparat harus dibongkar secara menyeluruh, tanpa pandang bulu.
Jika tidak, publik akan menilai bahwa negara tunduk kepada mafia tambang dan hukum hanya tajam ke bawah.
Langkah pertama adalah mengusut tuntas oknum TNI AL berinisial AS dan oknum dari Satpolair yang diduga terlibat. Proses hukum militer harus berjalan dan disampaikan ke publik secara transparan.
Kedua, pemerintah daerah dan pusat harus mengevaluasi total sistem pengawasan di kawasan rawan tambang ilegal seperti Teluk Inggris.
Ketiga, smelter-smelter yang menerima pasokan dari tambang ilegal juga harus diperiksa dan diberi sanksi. Rantai distribusi tambang ilegal tidak hanya berhenti di laut, tetapi menjalar ke darat melalui jalur penyetoran hasil tambang.
Jangan Biarkan Negara Dipermalukan
Apa yang terjadi di Teluk Inggris bukan hanya persoalan tambang ilegal. Ini soal bagaimana hukum dilecehkan, institusi negara diperalat, dan rakyat dikhianati.
Ini adalah ujian besar bagi komitmen Presiden Prabowo untuk menegakkan kedaulatan dan keadilan.
Negara harus hadir secara nyata, bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam tindakan. Jika aparat dibiarkan menjadi beking tambang ilegal, maka yang hilang bukan hanya timah, tetapi juga martabat bangsa. (KBO Babel)