DETIKBABEL.COM, BANGKA BELITUNG – Sengketa informasi publik yang melibatkan Edi Irawan dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akhirnya mencapai babak akhir. Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar Kamis (19/6/2025), Majelis Komisioner Komisi Informasi Provinsi Bangka Belitung menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Edi, dengan alasan permintaan tidak sesuai ketentuan yang berlaku.

Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Fahriani, S.H., M.H., C.Med, dengan anggota Martono, S.TP., C.Med dan Rikky Fermana, S.IP., C.Med. Berdasarkan musyawarah internal pada 16 Juni 2025, Majelis menyimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi telah memberikan informasi sesuai dengan batas kewenangan dan data yang berada dalam penguasaannya.

Permintaan tambahan dari Edi dinyatakan di luar cakupan kewenangan Pemprov.

“Informasi yang diminta pemohon sebagian besar tidak berada dalam penguasaan termohon, sehingga tidak dapat diberikan,” tegas Fahriani dalam amar putusan.

Majelis juga menyoroti status Edi Irawan yang dinilai tidak memiliki legalitas formal sebagai peneliti, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Menurut regulasi, pemohon yang mengajukan informasi untuk penelitian harus dapat membuktikan identitas kelembagaan dan tujuan akademik yang jelas.

“Pemohon tidak dapat menunjukkan dokumen pendukung yang membuktikan dirinya adalah peneliti resmi. Hal ini menjadi alasan tambahan permohonan ditolak,” ungkap Martono.

Namun, keputusan Majelis tersebut langsung menuai reaksi keras dari Edi Irawan. Dalam keterangan tertulis kepada Jejaring Media KBO Babel, Edi menyatakan kekecewaannya dan menuding putusan tersebut menutup akses publik terhadap informasi penting.

“Saya menolak putusan itu. Kalau seperti ini, semua pejabat dan konsultan proyek tata ruang seharusnya bisa dijerat hukum,” ujar Edi, alumni Universitas Bangka Belitung.

Edi menjelaskan bahwa permohonan informasi yang ia ajukan semata-mata bertujuan untuk keperluan akademik dan pembelajaran masyarakat.

Ia membandingkan sulitnya akses data publik dengan kemudahan perusahaan dalam memperoleh informasi yang berkaitan dengan proyek-proyek pemerintah.

“Kalau masyarakat belajar dianggap tidak penting, sementara perusahaan bisa dengan mudah akses data untuk bisnis, ini jelas tidak adil,” tegasnya.

Menanggapi itu, anggota Majelis Komisioner, Rikky Fermana, menyatakan bahwa kewajiban pemerintah hanyalah menyampaikan informasi yang memang berada dalam penguasaannya.

“Kita tidak bisa memaksa badan publik memberikan informasi yang tidak dimilikinya. Itu sudah diatur jelas dalam UU KIP,” ujarnya.

Putusan ini menjadi preseden penting terkait batas hak publik dalam mengakses informasi, sekaligus menegaskan bahwa setiap permohonan informasi harus memenuhi syarat legal dan berada dalam kerangka kewenangan instansi yang dituju. (Mung Harsanto/KBO Babel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *