11 Bulan Kehidupan, Satu Malam Yang Mengakhiri Segalanya

Advertisements
Advertisements

DETIKBABEL.COM, Oleh: Muhamad Zen, Di balik tangisan yang terhenti, ada harapan yang runtuh, dan kepercayaan yang perlahan-lahan mati. Seorang ibu kehilangan bayinya yang baru berusia 11 bulan—bukan karena takdir semata, tetapi karena dugaan kelalaian yang mestinya bisa dicegah oleh sistem layanan kesehatan yang katanya “siap siaga”.

Ruang perawatan di Rumah Sakit Bakti Timah (RSBT) Pangkalpinang, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, justru menjadi saksi sunyi dari tragedi paling menyayat: kematian seorang anak dalam pelukan ibunya, yang berkali-kali menekan tombol darurat—tanpa satu pun perawat yang datang.

> “Sudah berkali-kali saya pencet tombol itu, tapi tak ada yang datang. Apa gunanya tombol darurat itu!”

— Teriakan seorang ibu, yang kehilangan anaknya di tempat yang seharusnya menyelamatkan.

Tragedi ini bukan hanya melukai satu keluarga, tetapi juga mencederai rasa kemanusiaan kita semua. Ia menggambarkan betapa rapuhnya sistem tanggap darurat yang selama ini diyakini menjadi garda terdepan pelayanan medis. Kepercayaan publik yang perlahan dibangun, bisa seketika hancur hanya oleh satu kelalaian yang fatal.

 

RSBT dan Reputasi yang Robek

Sebagai institusi kesehatan, RSBT bukan hanya mengurus administrasi dan prosedur klinis, tapi juga mengemban tanggung jawab moral. Kepercayaan masyarakat tidak dibeli dengan gedung baru atau iklan layanan masyarakat, melainkan dengan aksi nyata dalam situasi genting—seperti saat seorang anak berjuang untuk hidup.

Namun lebih memilukan lagi, di tengah duka yang masih hangat, beredar kabar bahwa diduga pihak RSBT tengah berupaya melakukan tindakan “senyap” untuk meredam pemberitaan, termasuk dengan cara memanggil beberapa pimpinan media di Bangka Belitung.

Jika ini benar adanya, maka luka keluarga korban diperparah dengan upaya membungkam suara publik. Ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan krisis kepemimpinan dan integritas.

> Mari kita perjelas: dengan diajak ngopi bareng humas atau manajemen rumah sakit mungkin bisa menenangkan suasana, tapi itu tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa sang bayi.

Pembungkaman media bukan solusi. Menutup-nutupi cacat sistem hanya akan memperpanjang daftar tragedi serupa di masa depan. Transparansi dan tanggung jawab adalah satu-satunya jalan yang pantas ditempuh oleh lembaga yang masih ingin dipercaya.

 

Himbauan untuk Awak Media: Jangan Lunak oleh Secangkir Kopi

Dalam situasi seperti ini, para awak media tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga penentu arah empati publik. Jangan biarkan pena kita tumpul hanya karena diajak duduk manis di ruang ber-AC, sambil dijamu dengan senyum manis dari humas rumah sakit.

Tugas kita bukan sekadar meliput, tetapi juga menyalakan nurani masyarakat. Jangan biarkan tragedi ini tenggelam oleh bujuk rayu atau pendekatan relasional yang mengaburkan kebenaran. Saat media ikut bungkam, maka yang mati bukan hanya anak itu—tetapi juga harapan akan keadilan.

 

Menolak Normalisasi Kematian Bayi

Kematian bayi bukan statistik. Ia bukan bagian dari laporan kinerja bulanan rumah sakit. Ia adalah alarm sistemik yang memanggil seluruh jajaran manajemen untuk bangun dari tidur panjang dan segera berbenah.

 

Sudah saatnya manajemen RSBT:

Melakukan audit menyeluruh terhadap sistem layanan darurat,

Memastikan seluruh perangkat—termasuk tombol darurat—berfungsi dan dijaga dengan disiplin tinggi,

Meningkatkan kapasitas dan empati tenaga medis,

Serta menghentikan segala bentuk pembungkaman terhadap media dan opini publik.

 

Jangan Tunggu Tragedi Berikutnya

Jika RSBT masih merasa lebih penting menjaga citra ketimbang menegakkan tanggung jawab, maka tragedi berikutnya hanya tinggal menunggu waktu. Jangan biarkan ruang rawat inap kembali berubah menjadi ruang duka. Jangan lagi ada ibu yang pulang dari rumah sakit dengan tangan kosong, hanya karena sistem gagal menjawab panggilannya.

Kita tidak butuh permintaan maaf setengah hati, tidak pula klarifikasi defensif.

Yang kita butuh adalah komitmen kolektif untuk berubah—lebih jujur, lebih sigap, lebih manusiawi.

> Setiap bayi berhak untuk hidup.

Setiap orang tua berhak atas pelayanan medis yang bermartabat.

Dan setiap rumah sakit wajib memastikan bahwa keduanya terlindungi—bukan dengan retorika, tapi dengan tindakan nyata.

 

———————–

 

Catatan Redaksi:

Isi narasi opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan atas penyajian artikel ini, Anda dapat mengirimkan artikel atau berita sanggahan/koreksi kepada redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sanggahan dapat dikirimkan melalui email atau nomor WhatsApp redaksi sebagaimana tertera pada box Redaksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *