Caption: Ilustrasi (Skandal Ijazah Palsu)
DETIKBABEL.COM, oleh : Adinda Putri Nabiilah SH., C.IJ., C.PW, Pangkalpinang – Kepulauan Bangka Belitung tengah diguncang oleh krisis kepercayaan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Wakil Gubernur Hellyana telah menciptakan pusaran kontroversi yang mengancam integritas pemerintahan provinsi. Bukannya menjernihkan persoalan, pernyataan Kabid Humas Polda Babel bahwa ijazah tersebut “identik asli” justru memperkeruh keadaan. Sebab publik bertanya: sejak kapan keabsahan dokumen negara diukur dari “kemiripan”, bukan dari legalitas hukum yang jelas?
Kata “identik” adalah istilah ambigu yang tidak memiliki makna hukum yang sahih. Dalam konteks keabsahan ijazah, ukuran yang digunakan bukan sekadar visual atau kesan, melainkan verifikasi institusional—terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang sah, dan diperoleh melalui proses akademik yang sah.
Fakta dan Anomali Akademik
Dugaan kecurangan ini kian tajam dengan munculnya data PD Dikti yang menunjukkan Hellyana baru terdaftar sebagai mahasiswa pada tanggal 3 April 2013. Sementara dalam ijazahnya, tahun kelulusan yang tercantum adalah 2012. Artinya, secara logika dan administratif, ia telah lulus satu tahun sebelum resmi menjadi mahasiswa. Lebih jauh, Hellyana juga tercatat mengundurkan diri pada semester ganjil 2014/2015, sehingga mustahil menyelesaikan seluruh beban akademik sesuai syarat memperoleh gelar sarjana hukum.
Lalu, dari mana datangnya ijazah itu? Jika benar dikeluarkan sebelum ia terdaftar sebagai mahasiswa aktif, maka ijazah tersebut patut diduga palsu. Apalagi informasi yang beredar menyebut adanya surat dari Bareskrim Mabes Polri yang menyatakan bahwa ijazah Sarjana Hukum Hellyana tidak terdaftar. Meski surat ini belum dipublikasikan resmi, keberadaannya menjadi sinyal serius akan potensi pelanggaran hukum.
Pelanggaran Hukum dan Konsekuensinya
Jika dugaan ini terbukti, Hellyana berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum, di antaranya:
1. Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen
> Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
Penggunaan ijazah palsu untuk memperoleh jabatan publik secara langsung melanggar pasal ini. Ijazah adalah dokumen otoritatif yang menentukan kompetensi seseorang. Memalsukannya untuk memenuhi syarat pencalonan atau jabatan adalah bentuk penipuan terhadap negara dan rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa ijazah hanya dapat diterbitkan oleh perguruan tinggi yang telah memiliki izin penyelenggaraan program studi dan memenuhi akreditasi tertentu.
Jika perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah tersebut tidak memenuhi syarat, atau jika Hellyana tidak mengikuti proses akademik sesuai regulasi, maka ijazah itu tidak sah. Penggunaan dokumen tersebut di ruang publik juga bisa ditindak.
3. UU ASN dan UU Pilkada
Sebagai pejabat publik, Hellyana tunduk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur bahwa calon kepala daerah harus memenuhi seluruh syarat administratif secara sah dan benar. Jika ia mencalonkan diri menggunakan dokumen palsu, maka secara prinsip, legitimasi jabatannya gugur.
Dampak Etis dan Politik
Masalah ini tidak berhenti pada ranah hukum semata. Dugaan penggunaan ijazah palsu merupakan krisis etika yang mencerminkan budaya politik yang permisif terhadap kebohongan dan manipulasi. Ini bukan soal sekadar “administratif” atau “kesalahan data”, melainkan soal moralitas dasar seorang pejabat yang mengemban amanah publik.
Apalagi hingga kini, gelar “SH” (Sarjana Hukum) masih terpampang di berbagai spanduk, baliho, dan komunikasi resmi atas nama Hellyana. Ini menunjukkan bahwa dugaan tersebut belum membuat yang bersangkutan atau timnya merasa perlu untuk berhati-hati. Alih-alih mengklarifikasi dengan gamblang, semua seolah berjalan normal.
Pertanyaan besarnya: jika benar terbukti palsu, apakah Hellyana bersedia mundur? Atau akankah publik disuguhi drama pembelaan bertele-tele yang hanya mempermainkan waktu dan hukum?
Transparansi dan Independensi Investigasi
Gubernur Hidayat Arsani sudah membentuk Tim Investigasi yang diketuai Plt Sekda Fery Aprianto. Ini patut diapresiasi. Namun, publik tidak bisa begitu saja percaya bahwa tim ini akan bekerja secara independen. Perlu ada pengawasan dari lembaga eksternal seperti Ombudsman, Komisi Informasi, dan juga akademisi dari perguruan tinggi negeri.
Sebab jika tim ini hanya menjadi alat untuk “meredam” tekanan publik, maka hasilnya hanyalah formalitas belaka. Pemerintahan yang bersih tidak cukup hanya mengklaim akuntabilitas, tapi harus menunjukkan keberanian dalam menegakkan hukum—termasuk jika harus mencopot wakil gubernur sekalipun.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, Polda Babel harus segera membuka hasil penyelidikan dengan transparan dan obyektif. Jangan sampai institusi penegak hukum ikut bermain dalam kompromi politik.
Kedua, Tim Investigasi Pemprov Babel harus mengundang pihak ketiga yang netral untuk melakukan audit dokumen secara forensik—melibatkan Kemendikbudristek, PD Dikti, dan LLDikti.
Ketiga, DPRD Babel sebagai representasi rakyat tidak boleh diam. Fungsi pengawasan harus dijalankan dengan serius, termasuk hak interpelasi jika memang diperlukan.
Keempat, jika terbukti ada pelanggaran hukum, maka proses pidana harus ditegakkan, dan bukan hanya pemberian sanksi administratif. Tidak boleh ada impunitas terhadap pemalsuan dokumen negara, sekecil apa pun itu.
Jangan Biarkan Politik Mengalahkan Hukum
Kasus ini menjadi semacam lakmus moral bagi demokrasi lokal di Bangka Belitung. Jika pejabat publik bisa melenggang dengan dokumen yang tidak sah, maka yang dikhianati bukan hanya hukum, tapi seluruh rakyat yang mempercayakan masa depan kepada sistem yang cacat.
Kita tidak bisa membiarkan narasi “semua baik-baik saja” menutupi borok besar yang menggerogoti fondasi negara hukum. Apalagi jika kasus ini didiamkan hanya karena pelakunya adalah bagian dari elite penguasa.
Saatnya hukum bicara. Jangan biarkan akal sehat publik dimatikan oleh basa-basi birokrasi. Wakil gubernur harus membuktikan keabsahan ijazahnya, atau bersiap menghadapi konsekuensi hukum dan etika. Karena kekuasaan tanpa legitimasi adalah bentuk pengkhianatan tertinggi terhadap rakyat.(*)
——————————————————–
Penulis : Adinda Putri Nabiilah, S.H.,C.IJ., C.PW. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH UNSRI) Tahun 2023, saat ini menjadi Editor di jejaring Media KBO Babel, Artikel/Opini dibuat berdasarkan pemberitaan dari media online Babel https://kbobabel.com/ijazah-identik-bukan-otentik-polda-dan-pemprov-didesak-bertindak-tegas/ tertanggal 9 Juni 2025.
Saran & Masukan terkait dengan tulisan opini silahkan disampaikan ke nomor redaksi 0812-7814-265 atau 0821-1227-4004