“Negeriku yang kaya akan sumber daya, dibalik rupanya 1001 aturan ditegapkan demi tercapainya sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang terpatri bukanlah keadilan yang merata, namun seolah tangisan menjerit dan jiwa merajalela mencari dinamika keadilan?”
“Haruskah begini yang di atas terus tertawa dan yang di bawah terus terisak, sebab kehidupan bukan tentang hari ini dan esok, namun ada hari lusa yang menanti dan hari esok yang menyongsong,berpikirlah untuk hari ini dan berbuat lah untuk hari esok.”
DETIKBABEL.COM,PANGKALPINANG– Banyaknya proyek pengadaan barang dan jasa dengan nilai besar di instansi pemerintahan menjadikan kegiatan itu sebagai ladang sasaran untuk berbuat korupsi.Beberapa proyek besar hingga puluhan milyar tetapi mutu dan kualitas dari hasil pekerjaan tak sebanding dengan anggaran yang di gelontarkan.
Disinyalir Empat Pekerjaan Mega Proyek yang terindikasi KKN dengan anggaran puluhan milyar luput dari sanksi hukum;
- Proyek Pengendalian Banjir (PT Bangka Cakra Karya) Rp.38.400.000.000 Pekerjaan tidak sesuai RAB, Spesifikasi, Akses Jalan tidak di Aspal, Beberapa Item tidak Dikerjakan dan Penggunaan Tanah Puru Menjarah Kawasan Hutan Konservasi Mangkol, Bangunan belum Satu Tahun sudah Retak dan Kurangnya pemadatan pada Tanah.
Gambar: Spesifikasi Pengendalian Banjir yang Tidak dikerjakan. *(Salah satu data dokumentasi,jika diperlukan akan ditampilkan lenkap dengan RAB) - Proyek Simpang Bandara-Desa Terak(PT Fajar Indah Satya Nugraha) Rp.48.835.139.000, Pekerjaan tidak sesuai RAB, Spesifikasi, Bahu Jalan belum Satu Tahun sudah mengalami Keretakan, Penggunaan Tanah Puru Menjarah Kawasan Hutan Konservasi Mangkol dan Kurangnya Pemadatan pada Tanah Berakibat Jalan Bergelombang.
Gambar: Salah satu Gambar Keretakan Pada Bahu Jalan - Proyek Penyediaan Air Baku KI SADAI(PT Gala Karya(Gersik) dan PT Graha Anugerah Lestari(KSO)) Rp.75.446.927.000, Pekerjaan tidak sesuai Spesifikasi dan RAB, Bukan menggunakan Beton Mutu K-225 dan K-250, Bangunan Belum Satu Tahun sudah Mengalami Keretakan.
Gambar: Salah Satu Gambar Keretakan Pada Dinding bukan beton mutu K-225 dan K-250 - Pekerjaan Proyek Talud Pantai Samak,Belitung(PT Limar Bayu Utama dan PT Perancang adhinusa)Rp.18.450.000.000, Pekerjaan tidak sesuai Spesifikasi dan RAB, Pengerjaan Lantai seharusnya 30 cm Namun Hanya Luar Lantai Cor Ketebalan 30 cm, di bagian tengah hanya 10 cm, Gorong-gorong seharusnya rangkaian besi(Wiremesh) diganti menggunakan besi cincin ukuran sama beda rakitan, Pengerjaan Bes atau gorong-gorong untuk Talud 6 tumpukan di tengah hanya diisi pasir, Hanya bagian atas di semen seharusnya keseluruhan di cor semen.
Gambar: Gorong-gorong Menggunakan semen beton mutu dibawah K-250.
Korupsi sepertinya sudah menjelma sebagai sebuah industri di negeri ini. Jangan heran, Indonesia saban tahun masuk peringkat atas urutan negara terkorup.
Potensi korupsi dalam penggelembungan anggaran muncul justru karena terbuka lebar celah aturan proyek pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah.
Celah itu berupa diperbolehkannya penunjukan langsung tanpa tender. Proses penunjukan langsung pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah selalu berakhir dengan praktik penggelembungan harga.
Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah memang membuka kemungkinan penunjukan langsung.
Namun, itu hanya diperbolehkan untuk barang yang nilainya di bawah Rp 50 juta, dalam situasi darurat seperti bencana alam, untuk pengadaan yang menyangkut rahasia negara dan hanya dapat disediakan perusahaan tertentu.
Para pejabat pemerintah selalu berlindung di balik alasan situasi darurat untuk melakukan penunjukan langsung. Pada hal pengadaan barang dan jasa tanpa tender ditemukan fakta penunjukan panitia pengadaan dan pimpinan proyek mayoritas berdasarkan adanya faktor kedekatan, seperti hubungan kekeluargaan antara pemimpin lembaga dan pegawai yang bersangkutan.
Sebagai tindakan yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak pidana korupsi dapat menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Salah satu sektor yang rawan korupsi ialah di sektor pengadaan barang dan jasa.
Terdapat pola penyelewengan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Hal itu dapat dilihat melalui setiap proses mulai dari perencanaan, pemilihan, kontrak, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Dari setiap tahapan pengadaan barang dan jasa Dalam tahap perencanaan, terdapat 6 pola yakni suap legislatif atau Pejabat Anggaran; pengaturan proyek atau ijon; pengaturan spek; duplikasi proyek; penyelewengan/penggelapan anggaran; dan memecah paket.
Sedangkan dalam tahap pemilihan memiliki 5 pola antara lain dokumen admin dan syarat palsu; jual-beli atau sewa dokumen admin dan syarat kualifikasi;persekongkolan horizontal/arisan/pengaturan harga; lalu persekongkolan vertikal dan suap; dan pengubahan spek setelah kompetisi (post-bidding).
Selanjutnya pada tahap kontrak terdapat 7 pola penyelewengan PBJ yang terdiri atas mark-up atau jual ulang; mark-down dan tukar aset atau layanan negara; proxy atau jual bendera; harga timpang; kickback dan komisi; pengubahan kontrak tanpa addendum; serta pengubahan spek setelah pemilihan.
Lain halnya dengan pelaksanaan yang miliki 5 pola mulai dari proyek fiktif; proyek terbengkalai/gagal/tidak sesuai spesifikasi; wanprestasi; sub-kontrak illegal; hingga pemerasan dan pungli.
Terakhir dalam hal evaluasi memiliki pola penyelewengan berbentuk suap auditor dan pengaturan audit; menghilangkan temuan atau bukti; meringankan hukuman; serah terima sebelum selesai; dan berita acara atau laporan fiktif.
Indikasi yang dimaksudkan ialah terbagi lagi dalam masing-masing tahapan pengadaan barang dan jasa. Dalam tahap perencanaan misalnya, bisa dilihat dari RUP tidak segera diumumkan; dokumen penawaran yang copy-paste; syarat dan kriteria tambahan/diskriminatif/mengarah; pengadaan darurat yang tidak wajar; atau PAGU yang sangat tipis perbedaannya dengan HPS.
Lalu pada tahap pemilihan, terdapat ‘peserta kameo’ yang cenderung tidak pernah menang, tapi selalu ikut dalam proses penawaran; penawaran copy-paste; peserta tunggal tanpa justifikasi; intervensi PA atau KPA; pengubahan metode; paket gagal/batal; pengumuman terbatas dan pengubahan jadwal; manipulasi bandwidth; hingga daftar hitam tidak diumumkan.
Di tahap kontrak, menyoroti tentang penyedia jasa yang rekam jejak buruk; pemenang tidak sesuai hasil evaluasi/syarat tidak lengkap; mendapat banyak paket; alamat tidak sesuai; penyimpangan atau pemotongan transaksi; dan lain-lain.
Kemudian dalam tahap pelaksanaan yang menjadi indikasi adalah terkait papan konstruksi tidak ada atau tidak sesuai kontrak; pesaing tender jadi sub kontraktor; serta jaminan tidak wajar.
Peraturan BPKP No.3 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengawasan Intern atas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dipandang mumpuni untuk melaksanakan proses pengawasan internal PBJP secara keseluruhan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan BPKP No.3 Tahun 2019 bahwa Pengawasan Intern merupakan seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi guna memberikan keyakinan memadai perihal kegiatan yang terlaksana telah sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan secara efektif dan efisien.
Dalam Pasal 2 Peraturan BPKP No. 3 Tahun 2019 ditegaskan kewajiban para pemimpin dalam melaksanakan pengawasan melalui APIP masing-masing lembaga. Hal serupa juga tertuang dalam Pasal 76 Peraturan Presiden No.16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Adapun pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan/atau penyelenggaraan sistem pengaduan atau yang biasa disebut sebagai whistleblowing system.
Pengawasan Pengadaan Barang/Jasa sendiri tidak hanya terletak pada satu proses saja, melainkan meliputi keenam tahapan mulai dari perencanaan, persiapan, pemilihan Penyedia, pelaksanaan kontrak, hingga serah terima pekerjaan.
Jadi proses pengawasan ini dari awal hingga akhir. Harapannya output dari pekerjaan yang dinyatakan PBJP ini dapat diawasi sesuai rencana awal yang ditetapkan.
Media massa telah menjadi alat kontrol sosial dan pilar keempat demokrasi,dimana kebebasan pers digunakan sebagai alat ukur untuk melihat demokratisasi sebuah negara.
Media yang netral berarti media yang bergerak secara independen, kredibel, dan mandiri dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sehingga masyarakat tidak tertipu terhadap fakta yang sebenarnya terjadi.
Namun pemberitaan yang telah di terbitkan wartawan terkadang tidak dijadikan sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Negeri Serumpun Sebalai ini.
Penegakan hukum berkeadilan merupakan kewajiban yang harus ditegakkan bagi suatu negara, khususnya Indonesia. Dalam proses penegakan hukum berkeadilan dibutuhkan lembaga yang diisi oleh orang-orang yang berintegritas, berkomitmen, dan berdedikasi sehingga menghasilkan lembaga independen sejati.
(Penulis: Sudarsono , Detikbabel.com)