DETIKBABEL.COM, Pangkalpinang – Meski permohonan praperadilan yang diajukan tim kuasa hukum dr Ratna Setia Asih dipastikan gugur karena sidang pokok perkara telah resmi didaftarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan dijadwalkan mulai bergulir pada Kamis, 4 Desember 2025, tim hukum tetap memilih untuk membacakan seluruh permohonan mereka dalam sidang praperadilan perdana pada Kamis (27/11/2025) lalu.
Hakim tunggal Dewi Sulistiarini, SH, sebelumnya menegaskan bahwa status praperadilan tersebut gugur seiring teregistrasinya berkas perkara ke persidangan pokok.
Namun komitmen Hangga Oktafandany, SH, dan rekan untuk tetap membacakan permohonan dianggap sebagai upaya mendokumentasikan keberatan hukum secara lengkap dan terbuka di hadapan pengadilan.
Dalam permohonannya, kuasa hukum menyoal sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dr Ratna Setia Asih berdasarkan *Surat Ketetapan Sp.Tap/35/VI/RES.5/2025/Ditreskrimsus*, tertanggal 18 Juni 2025 yang ditandatangani Direktur Reskrimsus Polda Kepulauan Bangka Belitung.
Tim kuasa hukum menilai penetapan tersangka tersebut cacat hukum, terburu-buru, dan tidak memenuhi standar pembuktian yang ditegaskan KUHAP serta ketentuan khusus dalam *UU 17/2023 tentang Kesehatan.*
Mewakili pemohon, Hangga Oktafandany memuat sejumlah argumentasi yang menjadi dasar keberatan. Salah satunya terkait proses penyidikan yang dinilai *mendahului alat bukti*.
Tim hukum menegaskan bahwa pemeriksaan saksi baru dilakukan pada 7 dan 22 Juli 2025, atau setelah penetapan tersangka.
“Ini bertentangan langsung dengan Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP.
Tersangka ditetapkan dulu, baru mencari bukti,” tegas Hangga dalam permohonannya.
Poin paling krusial adalah ketiadaan *otopsi atau visum et repertum forensik*, padahal pasal yang disangkakan—Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan—merupakan delik materiil yang mensyaratkan bukti ilmiah penyebab luka atau kematian.
Tanpa hasil otopsi sebagaimana diatur dalam *Pasal 133 KUHAP*, tim kuasa hukum menilai penetapan tersangka tidak memiliki dasar ilmiah maupun yuridis.
Tak berhenti di situ, kuasa hukum juga menegaskan bahwa penanganan perkara tenaga medis memiliki mekanisme khusus.
Dalam argumentasinya, mereka mengurai pasal demi pasal mulai dari *Pasal 304 hingga 308 UU Kesehatan*, yang mengatur kewajiban pemeriksaan etik profesi oleh Majelis Disiplin Profesi (MDP), serta prosedur sanksi disiplin yang harus dilewati terlebih dahulu sebelum aparat penegak hukum melakukan pemidanaan.
“UU Kesehatan adalah delik khusus. Aparat penegak hukum wajib mengutamakan mekanisme etik dan restorative justice sebelum masuk ke pidana. Termohon telah melompati seluruh prosedur khusus itu,” terang Hangga.
Tim hukum juga menyinggung batasan kewenangan penyidik kepolisian dalam tindak pidana kesehatan sebagaimana *Pasal 424 UU Kesehatan*, yang menurut mereka tidak memberi kewenangan kepada polisi untuk menerima laporan, memulai penyelidikan, apalagi mengeluarkan undangan klarifikasi tanpa lebih dulu melibatkan PPNS atau MDP.
Dengan sederet alasan tersebut, pemohon meminta hakim praperadilan menyatakan penetapan tersangka tidak sah, tidak berkekuatan hukum mengikat, serta memerintahkan termohon untuk merehabilitasi nama baik dr Ratna Setia Asih.
Meski praperadilan ini dinyatakan gugur secara formil, isi permohonan yang dibacakan tetap menjadi bagian dari dinamika hukum yang kelak akan berpengaruh pada sidang pokok perkara yang bakal dimulai dalam waktu dekat.
Sorotan publik terhadap kasus ini juga semakin menguat, terutama dalam konteks dugaan kriminalisasi tenaga medis yang sebelumnya telah disuarakan oleh sejumlah organisasi profesi.
Sidang pokok perkara pada 4 Desember mendatang diperkirakan akan menjadi panggung awal pembuktian, bukan hanya soal aspek hukum pidana umum, tetapi juga penerapan UU Kesehatan sebagai lex specialis yang menuntut ketelitian lebih dalam dalam memproses tenaga medis. (KBO Babel)






