DETIKBABEL.COM, Oleh : Muhammad M Said (Guru Besar Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZNAS Relief Islami Indonesia)
Jakarta – Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia (min fajjin ‘amiq) memenuhi panggilan spiritual untuk menunaikan ibadah haji dan menyembelih hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha. Namun, kurban sejatinya bukan hanya ekspresi spiritual semata, tetapi juga medium sosial yang menyatukan ketundukan kepada Tuhan dengan kepedulian kepada sesama, membangkitkan empati, dan menggerakkan ekonomi kerakyatan.
Dalam konteks kebijakan nasional, ekonomi kurban sangat relevan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penguatan ekonomi rakyat dan penurunan angka stunting. Kurban dapat menjadi model nyata dari ekonomi inklusif dan berkeadilan yang mendukung perluasan kesempatan kerja serta memperkuat struktur ekonomi berbasis komunitas.
Lebih dari 64 juta unit UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional dapat diperkuat melalui ekosistem ekonomi kurban. Ketika daya beli masyarakat melemah dan UMKM menghadapi tantangan pascapandemi, momentum kurban membuka peluang sektor peternakan, logistik, penyembelihan, hingga pengolahan pangan yang didominasi oleh pelaku usaha kecil. Hal ini menjadikan ekonomi kurban sebagai saluran distribusi kesejahteraan yang efektif, bukan sekadar simbolik.
Pertumbuhan ekonomi nasional tidak semata diukur melalui indikator makro seperti PDB dan investasi, tetapi juga melalui pemerataan hasil-hasil pembangunan. Ekonomi kurban memberi contoh bagaimana kekayaan dapat dialirkan secara luas dan merata kepada masyarakat akar rumput—petani, nelayan, buruh, dan pelaku UMKM.
Dalam hal ini, ekonomi kurban mencerminkan semangat ekonomi berbagi (economy of sharing) yang berakar dari nilai spiritualitas Islam seperti kedermawanan (generosity) dan keadilan (justice). Seorang Muslim rela menyisihkan hartanya untuk membeli dan menyembelih hewan ternak, lalu membagikan seluruh dagingnya kepada masyarakat tanpa mengharapkan imbalan. Ini adalah bentuk nyata dari solidaritas sosial yang menghidupkan nilai gotong royong ekonomi.
Distribusi daging kurban tidak hanya memberikan akses gizi bagi kelompok yang jarang menikmatinya, tetapi juga menciptakan efek ekonomi berantai; peternak kecil hidup, jagal bekerja, UMKM terlibat, dan mustahik mendapatkan manfaat. Praktik ini memperlihatkan bagaimana kurban dapat memperkuat ekonomi kerakyatan berbasis keadilan sosial.
Laporan IDEAS (2025) bahwa potensi ekonomi kurban Indonesia diperkirakan mencapai Rp 27,1 triliun dari sekitar 1,92 juta pekurban, dengan proyeksi distribusi daging mencapai 101,1 ribu ton. Realita potensi ekonomi kurban ini sangat berarti dalam memperkecil ketimpangan konsumsi daging yang saat ini masih tinggi antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Bila distribusi diarahkan secara tepat kepada lebih dari 90 juta penduduk rentan dan miskin, maka ekonomi kurban dapat menjadi instrumen efektif dalam pemenuhan gizi dan perbaikan akses pangan bergizi.
Konsumsi daging merupakan aspek penting dalam tumbuh kembang anak, terutama di wilayah dengan prevalensi stunting tinggi. Di banyak daerah dengan konsumsi daging sangat rendah, angka stunting dapat mencapai 30 hingga 50 persen. Ekonomi kurban dapat menjadi intervensi strategis dalam penyediaan pangan hewani jangka pendek untuk menurunkan angka stunting, terutama di daerah yang mengalami kemiskinan ekstrem dan defisit protein.
Dengan permintaan hewan kurban mencapai 1,6 juta ekor per tahun, momen kurban menjadi peluang besar bagi rumah tangga peternak skala kecil (RTUP). Ini adalah waktu panen bagi mereka, yang jika dikelola secara tepat, bisa memperkuat basis ekonomi lokal sekaligus mendukung pencapaian target pembangunan sumber daya manusia sebagaimana dicita-citakan dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Pengelolaan kurban secara kolektif dengan pendekatan profesional dan modern akan meningkatkan dampaknya secara ekonomi dan sosial. Mulai dari penggemukan ternak hingga distribusi dan pengolahan daging, bila dilakukan oleh koperasi desa, Bait Mal wal Tanwil (BMT), sektor pondok pesantren, dan unit sosial keagaaan lain Masjid melaui Badan Usahanya akan menciptakan rantai ekonomi yang berkelanjutan. Bahkan, inovasi seperti rendang wakaf, daging awetan bergizi, atau produk halal bernilai ekspor dapat dilahirkan dari sini.
Untuk memperkuat peran ekonomi kurban sebagai katalis pertumbuhan inklusif, selain memperkuat langkah-langkah yang sudah pernah ada seperti distribusi berbasis data, program Tebar Hewan Kurban (THK) ke daerah-daerah rawan stunting, perkuat poros persaudaraan antara masjid perkotaan dan pelosok melalui lembaga amil zakat (LAZ), dan skema tabungan kurban 1–2 tahun untuk memperluas partisipasi kelas menengah, juga perlu pendekatan yang lebih partisipatif dan transformatif.
Pertama, aplikasi sistem digital interaktif Kurban Connect yang memungkinkan hubungan langsung dan transparan antara pekurban dan wilayah yang mengalami kekurangan gizi.
Kedua, mencanangkan program Masjid Produsen dan Masjid Distribusi sehingga jejaring antar-masjid lebih kuat dalam hal distribusi dan penyediaan hewan kurban.
Ketiga, program Peternaku, Kurbanmu mendorong keberlanjutan dan kepercayaan dalam rantai kurban nasional melalui kemitraan ekonomi dan emosional antara pekurban dan peternak kecil.
Keempat, peningkatan kapasitas SDM RTUP melalui pelatihan teknis, pembiayaan mikro, dan perlindungan harga pasar, dan pembentukan karakter utama pelaku ekonomi Islam yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat, kita yakin dan percaya ekonomi kurban sebagai ibadah tahunan memiliki kekuatan strategis mewujudkan ketahanan pangan dan penguatan gizi nasional yang berkontribusi langsung pada pembangunan ekonomi yang merata dan berkeadilan. (*)