DETIKBABEL.COM, KOBA, BANGKA TENGAH — Aktivitas tambang ilegal di kolong eks PT Kobatin, tepatnya di wilayah Marbuk dan Kenari, tampaknya bukan sekadar aksi spontan warga mencari penghidupan. Ada yang lebih besar dan sistematis. Dalam sepekan terakhir, praktik penambangan liar dengan Ponton Isap Produksi (PIP) jenis TI Rajuk dan TI manual kembali marak, namun yang mengejutkan, tidak ada satu pun tindakan dari aparat penegak hukum (APH), Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, maupun PT Timah Tbk sebagai pemegang izin konsesi (IUP) wilayah tersebut. Minggu (22/6/2025)
Pantauan tim jejaring KBO Babel pada Sabtu, 21 Juni 2025, teridentifikasi 12 unit ponton yang sudah aktif beroperasi, terdiri dari 10 TI Rajuk Tower atau Gerbok dan 2 unit TI manual. Lebih mencengangkan, belasan ponton lainnya terlihat sedang dalam proses perakitan. Bila dibiarkan, prediksi warga menyebut jumlah ponton bisa melonjak menjadi 60 unit lebih dalam waktu dekat.
“Mereka lagi uji nyali. Kalau dibiarkan, kolong Marbuk dan Kenari bakal dikeroyok 60 ponton lebih. Ini bukan main-main, ini perampokan sumber daya,” kata seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ada pembiaran sistematis? Dugaan itu diperkuat dengan munculnya nama-nama yang selama ini dikenal publik sebagai “pemain lama” tambang ilegal di Bangka Tengah. Dua nama mencuat di lapangan: Is, dikenal dengan julukan “Sultan Koba”, dan Ri, seorang tokoh pemuda dari Desa Nibung. Keduanya disebut-sebut sebagai koordinator utama kegiatan tambang ilegal ini.
Lebih mengkhawatirkan, mereka diduga telah lebih dulu menjalin koordinasi dengan oknum aparat kepolisian di wilayah Bangka Tengah. Indikasi ini diperkuat oleh pengakuan warga bahwa para penambang merasa sangat percaya diri, bahkan saat ditegur langsung oleh masyarakat sekitar.
“Waktu kami tegur, mereka malah menantang. ‘Silakan lapor ke mana saja, kami tetap jalan.’ Mereka bilang sudah ‘beres’ sama orang atas. Dari yang koordinir, yang tampung timah, sampai institusi yang jaga keamanan,” ujar seorang warga yang tinggal tak jauh dari lokasi tambang.
Nama-nama baru pun mulai dikaitkan. Yi, seorang ketua organisasi kepemudaan yang dikenal dekat dengan Bupati Bangka Tengah Algafri Rahman, ikut disebut dalam jaringan ini. Bahkan, dugaan keterlibatan oknum aparat militer juga mencuat. Seorang anggota aktif TNI AD berinisial SN, dari satuan Korem 045 Gaya, dituding membekingi langsung aktivitas tambang ilegal di lapangan.
“Kalau ini benar, maka sudah menyentuh ranah penyalahgunaan kekuasaan dan intervensi hukum. Ini bukan sekadar tambang ilegal biasa,” tegas M. Zen, perwakilan LSM Topan RI Bangka Belitung.
Zen menambahkan, pihaknya akan segera melaporkan persoalan ini ke pejabat pusat, termasuk Panglima TNI, Kapolri, Menko Polhukam, dan Menteri ESDM. Ia menilai, aparat di daerah sudah tidak mampu lagi bersikap netral.
“Hentikan drama pembiaran ini. Kalau Kapolres, Korem, dan PT Timah masih diam, berarti mereka sudah terkontaminasi jaringan mafia tambang. Kita akan bawa ini ke pemerintah pusat. Harus ada tindakan dari atas,” kata Zen.
Selain soal hukum, warga juga menyoroti kerusakan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Aktivitas penambangan yang tak terkendali di kolong Marbuk dan Kenari membawa dampak serius, mulai dari potensi banjir, kerusakan ekosistem air, hingga konflik sosial antar warga.
Ironisnya, keuntungan dari tambang tersebut tidak kembali ke masyarakat. Pasir timah dari ponton TI Rajuk dibeli dengan harga Rp90.000 per kilogram, dengan potongan 20 persen untuk para koordinator dan ‘jatah’ untuk oknum-oknum aparat yang terlibat. Sementara warga sekitar tidak menerima kontribusi atau kompensasi apa pun.
Sumber lain menyebut, hasil tambang yang dikumpulkan tidak hilang begitu saja. Pasir timah ditampung oleh seorang perwakilan dari PT MSP yang beroperasi di Bangka Tengah, memperkuat dugaan adanya rantai distribusi hasil tambang ilegal yang rapi dan terstruktur.
Kondisi ini menjadi pengingat pahit bahwa tambang ilegal bukan sekadar soal ekonomi atau kebutuhan hidup, tetapi sudah menjadi sindikat. Persoalan tambang liar di Bangka Tengah mencerminkan lemahnya supremasi hukum dan dugaan keterlibatan oknum yang seharusnya menjaga keadilan.
“Kalau ini dibiarkan terus, jangan salahkan masyarakat kalau mulai kehilangan kepercayaan. Kami hidup di atas tanah sendiri, tapi malah cuma bisa jadi penonton dari kerusakan yang dilakukan orang luar,” ujar seorang warga dengan nada kecewa.
Desakan terhadap pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan PT Timah Tbk semakin keras. Kasus ini menjadi ujian nyata atas komitmen semua pihak dalam menegakkan hukum dan melindungi kepentingan rakyat. Apakah Bangka Tengah akan terus dikuasai “raja-raja kecil” tambang ilegal, atau akhirnya kembali pada prinsip keadilan dan keberlanjutan? Hanya tindakan nyata yang bisa menjawabnya. (Mung Harsanto/KBO Babel)