Oleh: Wenki (Senior Journalist Sertifikasi)
Detikbabel.com|Bangka Belitung – Di era digital saat ini, setiap jari yang menari di atas layar gawai punya kekuatan luar biasa: bisa menginspirasi, tapi juga bisa menghancurkan. Perkara yang dilaporkan Ketua Pemuda Pangkalpinang Bersuara, Tomi Permana, dan seorang jurnalis bernama Ahmad Wahyudi alias Yuko, menjadi bukti nyata betapa tipis batas antara ekspresi dan pencemaran nama baik dalam ruang digital kita.
Tomi memilih jalur hukum setelah akun Facebook Ahmad Wahyudi menuduhnya melakukan praktik “pengondisian” terhadap Kejari Pangkalpinang demi mendapat jatah proyek pemerintah.
Bagi Tomi, tudingan tersebut bukan sekadar fitnah, tapi serangan sistematis terhadap integritas pribadinya dan lembaga penegak hukum.
Langkah hukum ini bukan hanya reaktif, melainkan strategis: mendidik publik bahwa media sosial bukan ruang bebas hukum. Dalam konteks UU ITE, Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) memberi batas tegas bahwa distribusi informasi yang bersifat penghinaan atau pencemaran nama baik bisa berujung pidana. Empat tahun penjara dan denda hingga Rp750 juta bukan sekadar ancaman di atas kertas.
Namun narasi tak pernah hitam putih. Ahmad Wahyudi, di sisi lain, membela diri. Ia menyebut unggahannya lahir dari pengalaman pribadi, dari ingatan masa lalu ketika ia “menjaga” beberapa tokoh di tempat hiburan malam.
Ia bahkan menyiratkan bahwa pernyataannya berakar pada moralitas dan pengalaman langsung—walau ironisnya, justru enggan menyebutkan nama-nama yang dimaksud demi menjaga ‘sisi gelap’ seseorang.
Di titik ini, pertanyaannya sederhana: apakah pengalaman personal bisa dijadikan dasar tuduhan terbuka di ruang publik, apalagi tanpa bukti sahih dan verifikasi yang memadai?
Tentu tidak. Jurnalisme bukan arena spekulasi. Kritik tanpa data adalah fitnah, dan pengalaman tanpa pembuktian hanyalah fragmen subjektif. Hak jawab memang penting, tetapi tanggung jawab lebih penting lagi.
Yuko, yang notabene adalah jurnalis, seharusnya memahami betul bahwa etika profesi menuntut verifikasi, keseimbangan narasi, dan itikad baik.
Tanpa itu, setiap tulisan bisa menjadi alat pembunuhan karakter yang brutal. Dan ketika reputasi seseorang dilukai, permintaan maaf di ujung klarifikasi tidak akan mampu menghapus jejak digital yang telanjur menyebar.
Yang lebih mengkhawatirkan, kasus ini juga membuka kemungkinan adanya pihak-pihak yang bermain di balik layar. Bisa jadi, penyerangan terhadap Tomi hanyalah ujung dari kepentingan yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih terstruktur.
Skenario adu domba berbasis digital bisa saja dibuat oleh mereka yang tidak ingin tokoh-tokoh muda seperti Tomi berkembang menjadi aktor perubahan. Bila itu benar, maka pelaku utamanya justru tengah bersembunyi sambil tersenyum puas, melihat pion-pion mereka saling menjatuhkan.
Dari sini, publik perlu memahami bahwa *kebebasan berpendapat* tidak bisa dipisahkan dari *akuntabilitas digital*. Era sekarang menuntut dua hal dari kita: *melek hukum* dan *melek etika*.
Kita boleh mengkritik, boleh bersuara, tetapi semua itu harus dilandasi data, niat baik, dan tidak merusak reputasi orang lain hanya karena dendam, asumsi, atau kabar burung.
Ahmad Wahyudi masih punya satu jalan keluar yang terhormat: mengakui kekeliruan, meminta maaf secara terbuka, dan menarik pernyataan jika memang tidak mampu membuktikan kebenarannya.
Ini bukan soal kalah atau menang, tapi soal menjadi pribadi yang *gentle* dan tahu kapan harus mundur untuk menyelamatkan banyak hal, termasuk dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, ketika ruang digital menjadi medan pertempuran tanpa batas, maka hukum dan kesadaran moral adalah satu-satunya benteng terakhir agar kita tidak saling membunuh hanya karena kata-kata. (Redaksi)
————————————————————–
Penulis: Wenki, Wakil Ketua DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Babel, Pimpinan Umum Media EraNews.Com