Oleh : Rindiani Aprillia Cauntesa, S.Si. Alumnus FMIPA, Universitas Lampung
DETIKBABEL.COM, Pemanasan global, yang didefinisikan sebagai peningkatan suhu rata-rata sistem iklim Bumi, merupakan salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi dunia saat ini (Mathew, 2022; Popa & Cocoș, 2021). Peningkatan suhu tercepat dalam sejarah tercatat selama 50 tahun terakhir, sebagian besar disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) yang tidak terkendali dari aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil (Mathew, 2022). Perjanjian Paris menetapkan tujuan ambisius untuk membatasi kenaikan suhu global jauh di bawah 2°C, idealnya 1,5°C, dibandingkan tingkat pra-industri, yang menuntut transisi cepat ke sumber energi rendah karbon (Muellner et al., 2021; Popa & Cocoș, 2021).
Dalam hal ini, energi nuklir sering disebut sebagai salah satu opsi strategis untuk dekarbonisasi sistem energi global (Fernández-Arias et al., 2024; Quiroga-Barriga et al., 2025). Artikel ini mengulas kontribusi potensial energi nuklir dalam mitigasi perubahan iklim berdasarkan analisis dari berbagai sumber.
Karakteristik Rendah Karbon Energi Nuklir
Keunggulan utama energi nuklir dalam konteks perubahan iklim adalah operasionalnya yang hampir bebas emisi GRK. Reaksi fisi nuklir yang digunakan di pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak menghasilkan karbon dioksida (CO2) secara langsung (Muellner et al., 2021). Meskipun demikian, analisis siklus hidup penuh (termasuk penambangan uranium, pengayaan, fabrikasi bahan bakar, konstruksi PLTN, operasional, dekomisioning, dan manajemen limbah) menunjukkan adanya emisi GRK tidak langsung (Muellner et al., 2021; Popa & Cocoș, 2021).
Namun, emisi siklus hidup energi nuklir secara signifikan lebih rendah dibandingkan bahan bakar fosil dan seringkali sebanding atau bahkan lebih rendah dari beberapa sumber energi terbarukan. Estimasi emisi bervariasi, tetapi banyak studi menempatkannya di kisaran 2 hingga 130 g CO2-eq/kWh, dengan rata-rata yang sering dikutip sekitar 12-29 g CO2-eq/kWh (Quiroga-Barriga et al., 2025). Sebagai perbandingan, batu bara menghasilkan sekitar 820-1054 g CO2-eq/kWh dan gas alam sekitar 490-499 g CO2-eq/kWh (Mathew, 2022; Popa & Cocoș, 2021). Selama 50 tahun terakhir, penggunaan energi nuklir diperkirakan telah mencegah emisi sekitar 60-70 gigaton CO2. Saat ini, energi nuklir menyumbang sekitar 10–11% dari total produksi listrik global dan sekitar sepertiga dari seluruh listrik rendah karbon di dunia (Mathew, 2022; Popa & Cocoș, 2021). Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, peningkatan kapasitas nuklir dalam skenario ambisius berpotensi mendekatkan pencapaian target IPCC 1,5°C serta menghindari pelepasan puluhan gigaton emisi CO₂.
Peran dalam Sistem Energi dan Stabilitas Jaringan
Energi nuklir menawarkan pasokan listrik yang stabil dan andal, beroperasi secara terus-menerus (24/7) sebagai sumber daya baseload. Kemampuan ini sangat penting untuk menjaga stabilitas jaringan listrik, terutama ketika proporsi sumber energi terbarukan yang bersifat variabel seperti surya dan angin terus meningkat. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2, proyeksi skenario transisi energi primer global periode 2019–2050 memperlihatkan penurunan tajam penggunaan bahan bakar fosil yang diimbangi oleh pertumbuhan pesat energi surya, angin, dan nuklir. PLTN dapat membantu menyeimbangkan fluktuasi pasokan dari sumber intermiten tanpa bergantung pada pembangkit fosil. Selain itu, energi nuklir berkontribusi pada keamanan energi nasional dengan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Kemajuan Teknologi Nuklir
Inovasi teknologi terus berupaya meningkatkan aspek keamanan, keselamatan, efisiensi, dan keberlanjutan, serta mengatasi beberapa tantangan utamanya.
Reaktor Modular Kecil/Small Modular Reactor(SMRs)
Reaktor canggih dengan kapasitas hingga 300 MWe yang dirancang untuk fabrikasi modular di pabrik dan perakitan di lokasi (Mathew, 2022; Fernández-Arias et al., 2024; Quiroga-Barriga et al., 2025). SMRs menawarkan potensi biaya awal yang lebih rendah, waktu konstruksi yang lebih singkat, fleksibilitas penempatan yang lebih besar (termasuk di daerah terpencil atau jaringan kecil), dan fitur keselamatan pasif yang ditingkatkan. Beberapa desain SMR juga cocok untuk aplikasi non-listrik seperti produksi panas industri, desalinasi air laut, dan produksi hidrogen.

Reaktor Generasi IV
Forum Internasional Generasi IV (GIF) mengoordinasikan pengembangan enam sistem reaktor maju (GFR, LFR, MSR, SFR, SCWR, VHTR) yang bertujuan untuk meningkatkan keberlanjutan (siklus bahan bakar tertutup, pengurangan limbah), ekonomi, keamanan (fitur pasif dan inheren), serta resistensi proliferasi. Reaktor ini dirancang untuk beroperasi pada suhu lebih tinggi, meningkatkan efisiensi termal, dan beberapa di antaranya dapat “membakar” aktinida berumur panjang dari limbah nuklir (Quiroga-Barriga et al., 2025).

Reaktor Cepat Pembiak/Fast Breeder Reactors(FBRs)
FBRs menggunakan neutron cepat dan dapat membiakkan lebih banyak bahan fisil (Pu-239 dari U-238) daripada yang dikonsumsinya (Muellner et al., 2021; Mathew, 2022). Teknologi ini secara drastis meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya uranium hingga 60 kali lipat dibandingkan reaktor air ringan saat ini dan dapat membakar limbah nuklir berumur panjang.
Fusi Nuklir
Berbeda dari fisi (pemisahan inti), fusi adalah proses penggabungan inti atom ringan (seperti Deuterium dan Tritium) untuk menghasilkan energi, meniru proses pembentukan energi di inti matahari. Fusi menjanjikan energi yang bersih, aman, dengan bahan bakar yang melimpah (dari air laut dan litium) dan limbah radioaktif minimal. Contoh proyek internasional fusi nuklir adalah ITER (Mathew, 2022; Quiroga-Barriga et al., 2025).
Tantangan dan Keterbatasan
Meskipun memiliki potensi, ekspansi energi nuklir menghadapi sejumlah tantangan signifikan:
1. Biaya Ekonomi
PLTN memiliki biaya modal awal yang sangat tinggi dan waktu konstruksi yang panjang, seringkali diwarnai penundaan dan pembengkakan biaya. Hal ini membuat energi nuklir sulit bersaing secara ekonomi dengan gas alam atau sumber terbarukan yang biayanya terus menurun (Fernández-Arias et al., 2024; Quiroga-Barriga et al., 2025).
2. Manajemen Limbah Radioaktif
Limbah tingkat tinggi (HLW), terutama bahan bakar bekas, tetap bersifat radioaktif selama ribuan tahun dan memerlukan isolasi jangka panjang yang aman. Pembuangan geologis dalam (DGR) dianggap sebagai solusi paling layak, tetapi implementasinya terhambat oleh tantangan teknis, biaya, dan penerimaan.
3. Keamanan dan Risiko Kecelakaan
Meskipun PLTN modern memiliki standar keamanan yang sangat tinggi dengan sistem keselamatan berlapis dan pasif, risiko kecelakaan parah (meskipun probabilitasnya rendah) tidak dapat dihilangkan sepenuhnya (Muellner et al., 2021; Quiroga-Barriga et al., 2025). Kecelakaan masa lalu seperti Three Mile Island, Chernobyl, dan Fukushima telah meninggalkan dampak mendalam pada persepsi publik dan kebijakan energi (Hans, n.d.; Popa & Cocoș, 2021; Quiroga-Barriga et al., 2025).
4. Risiko Proliferasi Nuklir
Teknologi dan material yang digunakan dalam siklus bahan bakar nuklir sipil (terutama pengayaan uranium dan pemrosesan ulang plutonium) secara inheren memiliki potensi penyalahgunaan untuk tujuan militer (Hans, n.d.; Egeland, 2025; Muellner et al., 2021). Rezim non-proliferasi internasional dan pengawasan IAEA sangat penting untuk mengelola risiko ini.
5. Keterbatasan Sumber Daya Uranium
Reaktor fisi generasi saat ini sebagian besar bergantung pada isotop Uranium-235 yang langka (0,7% dari uranium alam) (Muellner et al., 2021). Ekspansi nuklir skala besar dengan teknologi saat ini dapat menghadapi keterbatasan pasokan uranium dalam jangka panjang, meskipun teknologi pembiak (FBRs) atau pemanfaatan Thorium dapat mengatasi hal ini (Muellner et al., 2021; Popa & Cocoș, 2021).
6. Penerimaan Publik
Penolakan atau keraguan publik, yang dipicu oleh kekhawatiran tentang keselamatan, limbah, dan hubungan historis dengan senjata nuklir, tetap menjadi hambatan besar di banyak negara (Hans, n.d.; Popa & Cocoș, 2021; Quiroga-Barriga et al., 2025; Fernández-Arias et al., 2024). Membangun kepercayaan dan keterlibatan masyarakat sangat krusial (Quiroga-Barriga et al., 2025).
7. Kerentanan terhadap Dampak Perubahan Iklim
Ironisnya, infrastruktur nuklir itu sendiri rentan terhadap dampak perubahan iklim. Peningkatan suhu air (sungai, laut) dapat mengurangi efisiensi pendinginan dan memaksa pengurangan daya (Portugal-Pereira et al., 2024). Kekeringan dapat membatasi ketersediaan air pendingin untuk PLTN darat (Portugal-Pereira et al., 2024; Egeland, 2025). Kenaikan permukaan laut dan badai ekstrem mengancam PLTN pesisir (Portugal-Pereira et al., 2024; Egeland, 2025). Adaptasi terhadap risiko iklim ini memerlukan investasi tambahan (Portugal-Pereira et al., 2024).
Prospek dan Kesimpulan
Secara keseluruhan, energi nuklir memiliki potensi signifikan sebagai bagian dari strategi global menuju dekarbonisasi dan mitigasi perubahan iklim, berkat sifatnya yang andal, rendah karbon, dan padat energi. Namun, kontribusi nyatanya masih dibatasi oleh tantangan ekonomi, teknis, sosial, dan lingkungan yang kompleks, serta lambatnya laju pengembangan teknologi saat ini. Meski demikian, kemajuan inovatif seperti reaktor modular kecil (SMR), reaktor Generasi IV, dan prospek fusi nuklir membuka peluang baru untuk meningkatkan efisiensi, keselamatan, dan keberlanjutan energi nuklir di masa depan. Oleh karena itu, keberhasilan energi nuklir sebagai bagian dari bauran energi rendah karbon bergantung pada kemampuan global untuk menyeimbangkan inovasi teknologi dengan tata kelola yang kuat, kolaborasi internasional, serta peningkatan kepercayaan dan partisipasi publik. (Red)





